"Memalukan!" bentak Farhan, "asal kamu tahu, Fahreza Brawijaya. Paman punya alasan tersendiri mengapa semua informasi tentang ayahmu, paman jaga dan tidak mau diberitahukan kepadamu!"
Reza mendongak, menatap pamannya yang sedang emosi. "Memangnya alasan apa yang membuat Paman tega kepadaku?"
"Tega atas apa, Fahreza?! Atas apa?!" Dada Farhan bergemuruh, baru kali ini ia merasa marah dengan sikap Reza yang menurutnya tidak bisa mengerti dirinya.
"Paman sudah bilang kepadamu, 'kan?! Ayahmu gugur di Pulau Angan. Beliau pulang hanya dengan nama! Apalagi yang kamu inginkan?! Katakan pada Paman, katakan!"
Bukannya menjawab, Reza malah terdiam. Pandangannya menerawang ke depan, seolah sedang menahan semua pertanyaan yang berkecamuk di otaknya. Ia memang dibesarkan di rumah dinas ini sejak kelas 1 SMP, meniti hidup di keluarga yang pernah dianggapnya asing.
Enggan membuka diri sampai akhirnya kasih sayang Nindy mampu meluluhkan bongkahan es di jiwanya. Ia mulai terbuka dan percaya diri. Farhan pun tak pernah memarahinya seperti sekarang, bila marah pasti akan diselingi candaan. Tidak seperti sekarang, di mana dirinya dibentak hanya karena ingin tahu tentang ayahnya.
Ia rindu sosok ayah, ia rindu. Biarpun sang ayah tak pernah hadir dalam hidupnya, tak pernah memantau perkembangannya, tetapi ia sangat-sangat menyayangi sang ayah dan ingin berjumpa. Namun dengan segala keegoisan, Farhan melarang dirinya tanpa alasan yang jelas. Meskipun ada alasan kuat, pasti disembunyikannya.
"Aku tidak akan nekat melakukan apapun, asal Paman izinkan aku pergi ke pulau Angan," ujar Reza sembari mengalihkan pandangan ke arah pamannya. "Satu pekan saja."
Farhan hanya diam.
"Mengapa diam, Paman?"
"Sampai kapan pun, Paman tidak akan mengizinkanmu pergi ke sana bahkan untuk sehari saja!" tegas Farhan yang kemudian berlalu ke luar rumah tanpa memedulikan bagaimana perasaan Reza kali ini.
Pemuda jangkung itu terduduk di sofa dengan kepala tertunduk, matanya yang memejam tengah berusaha menahan air mata yang menerobos keluar. Tenggorokannya amat tercekat. Kedua tangannya mengepal kuat. Perlahan ia mendongak, menatap foto pamannya yang begitu gagah mengenakan seragam khas Kopassus.
Seulas seringaian terlukis di wajahnya. "Jangan salahkan keponakanmu ini kalau berbuat nekat," gumamnya.
Kesalahan terbesar bagi Farhan bila mengabaikan sisi serius di balik sifat suka bercanda yang dimiliki oleh keponakannya. Biasanya, orang yang selalu tertawa pasti cenderung nekat bila memiliki keseriusan. Tanpa mengatakan sepatah kata apapun, Reza berdiri dan hendak masuk ke dalam kamarnya. Namun, langkahnya mendadak terhenti kala melihat tantenya yang sudah berdiri di depan pintu ruang makan entah sejak kapan.
Berniat mengabaikan, tetapi panggilan dari Nindy membuatnya tak bisa untuk mendekat. Ia tekankan, bahwa ia hanya bermasalah dengan pamannya, bukan berarti Nindy akan ikut terkena imbas.
"Kamu mau tahu tentang ayahmu?" tanya Nindy.
Reza bergeming.
"Segera temui Koptu Husein Abdurrahman, setelah itu, pergi dan temui tante Amara Putri. Selain pamanmu, dua orang itu memiliki kunci kisah hidup ayahmu. Mereka tahu luar dalamnya. Mereka yang tersisa dalam tragedi itu. Mereka saksinya."
Ketika mulut Reza terbuka untuk bertanya, Nindy langsung menggeleng. "Jangan bertanya apapun. Praka Husein adalah seorang anggota Marinir. Temui dia. Tante tahu kamu cerdas untuk mencari tahu di mana kamu dapat menemui beliau."
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengabdi (Bukan) Mimpinya [TAMAT]
Teen FictionHidup dengan menutupi identitasnya sebagai keponakan dari Sang Komandan tentu membuat dirinya acap kali menghadapi konflik umum yang bisa menguji kesabarannya. Yatim semenjak bayi, dan piatu semenjak umur 14 tahun tak pernah membuat semangatnya menu...