“Akhirnya resmi juga.”
Yaya, Ying dan Taufan berbaris dengan rapi di depan pintu masuk, seolah hari ini adalah hari bersejarah bagi mereka. Tentu. Karena hari ini, setelah sekian lama papan nama ruang kesenian diganti menjadi papan nama ruang kelas E. Tiga pasang mata itu menatap takjub setiap prosesi sakral yang sedang berlangsung, hingga membuat seorang tukang yang ditunjuk untuk menjalankan tugas mulia itu salah tingkah.
Setelah tukang itu turun dari tangga portable, Taufan langsung berlagak seperti wartawan profesional, melakukan wawancara sederhana terkait nasib artefak peninggalan ruang kesenian, apakah akan dipindahkan ke ruang kesenian yang baru atau akan dijual pada kolektor barang antik? Walaupun Taufan sendiri tidak yakin mahakarya tersebut akan laku di pasaran.
Gelengan tukang itu cukup membuat rentetan prosesi sakral tadi tampak sia-sia. Bagaimanapun juga, jika topeng-topeng dan lukisan-lukisan di kelas itu tidak dipindahkan, sama saja bohong. Yang berubah hanya label luarnya saja, sedangkan bagian dalam tetap terlihat sama seperti sebelumnya.
Dari kejauhan, Halilintar berlari seperti kuda liar di koridor. Namun, kuda yang satu ini seolah tidak punya teknologi canggih bernama rem dan klakson, barbar sekali dalam menerobos blokade Yaya, Ying dan Taufan di depan pintu masuk.
Yaya dan Ying masih sempat menghindar di saat-saat terakhir, tetapi tidak dengan Taufan. Dia jatuh nyusruk ke depan. Selama beberapa saat Taufan tetap dalam posisi jatuhnya; tengkurap di lantai. Otaknya sedikit loading, karena tubuhnya merasa sensasi aneh sesaat setelah Halilintar menabraknya. Begitu sadar, Taufan langsung bangkit dan menyusul Halilintar ke dalam kelas. Dia mendapati Halilintar bersembunyi di pojok belakang kelas, seperti anak kecil yang ketahuan mendapat nilai jelek saat ujian matematika.
“Kamu bawa stun gun, ya?” semburnya. “Kena tanganku tahu, parah banget bawa alat gituan. Cukup Solar aja yang bawa barang aneh ke kelas, kamu nggak usah ikut-ikutan.”
“Stun gun? Emang boleh bawa alat kayak gitu?” tanya Yaya sembari duduk di bangkunya dengan anggun ala putri Solo.
“Tuh, tanya aja sama orangnya.”
Ying ikut penasaran dengan jawaban dari Halilintar. Namun, Ying sempat melihat wajah Halilintar menegang, seolah anak itu sudah tertangkap basah mencuri jemuran tetangga. “Beneran bawa?” tanyanya memastikan.
Halilintar buru-buru menggeleng. “Itu cuma halusinasi dia.”
“Idih malah ngata-ngatain.”
“Masuk akal,” timpal Yaya, Taufan langsung mendelik. “Lagian kenapa lari-lari di koridor? Kayak dikejar setan aja.”
“Mana ada setan keluyuran jam segini, rajin amat setannya.”
“Cuma metafora, Fan.”
“Aku dikejar orang-orang ekskul atletik,” jawab Halilintar.
Ying menaikkan satu alisnya. “Mereka mau kamu masuk ekskul atletik?” Halilintar mengangguk. “Dan kamu nggak mau?” Halilintar mengangguk lagi. “Kenapa nggak coba dulu aja?”
Halilintar menggeleng. “Padahal udah kutolak kemarin.”
Taufan mengangguk-angguk, di dalam kepalanya sudah terdapat kesimpulan dari semua ini. “Setan emang gitu, kalau belum terjerumus pasti ngejar-ngejar terus.”
“Sembarangan!”
“Cuma metafora, Ying. Kenapa jadi kamu yang sewot?”
“Aku masuk ekskul atletik kemarin, mau ngata-ngatain lagi?”
Taufan tersenyum kaku pada Ying, dia mengangkat dua jarinya, menyatakan perdamaian sebelum gadis itu lebih dulu mencakarnya.
“Coba aja dulu, atau cari aja ekskul lain,” usul Yaya, Ying ikut mengiyakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
E Class
Fiksi PenggemarSelamat datang di kelas E, kelas yang menempati ruangan dengan banyak lukisan dan topeng-topeng, letaknya paling pojok dan jauh dari jangkauan siswa lain. Mau tahu yang lebih aneh? Kelas E hanya berisi lima orang dan Halilintar menjadi salah satunya...