hai, tampan

7.9K 286 2
                                    


Dress merah maroon ini sangat pas untuk tubuhku. Banyak teman-temanku yang bilang tubuh sangat proposional bahkan mereka bilang payudara dan pantatku tampak seksi. Dengan dress ini, aku menatap tubuhku melalui cermin, good looking, right?

Sepanjang kebersamaanku bersama Hasbi, dia tidak pernah memberiku sesuatu berwarna maroon seperti sekarang. Hasbi lebih menyukai biru dan hijau, jadi dia selalu membelikanku baju-baju warna kesukaannya. Adapun putih, hitam, ungu tapi tidak pernah merah atau sejenisnya seperti maroon.

Perasaanku semakin tidak enak, lebih tepatnya tidak tenang. Apalagi mendengar nada suara Hasbi yang terakhir. Hasbi seperti menahan sesuatu dan tidak ingin menemuiku.

Setelah membereskan isi tasku, aku keluar kamar untuk check out. Aku mencoba beberapa kali menghubungi nomer Hasbi tapi tidak diangkatnya. Apakah dia benar-benar sibuk atau sedang bersama wanita itu?

Aneh.

Kenapa hatiku tidak merasakan pedih saat mengingat Hasbi dan wanita itu? Apakah aku sudah tidak menginginkan Hasbi? Bagaimana ujung dari pernikahanku nanti? Bahagiakah? Atau aku dan Hasbi memang sebaiknya berpisah?

Aku masih melamun setelah menyelesaikan urusan check out dan menyerahkan kartu kamarku pada resepsionis. Pikiranku masih melayang dan tidak memperhatikan jalan. Seorang office boy yang sedang menyeret koper menabrakku. Kopernya mengenai kakiku hingga aku terhuyung. Tubuhku akan jatuh dan aku bersiap sakit saat menabrak lantai.

Tapi tidak terjadi. Begitu aku membuka mata, tubuhku ditahan seseorang. Aku hanya bisa melihat dasi di lehernya. Sesegera mungkin aku melepaskan diri dan mundur menjauhinya. Masih menunduk, aku sedikit membungkukkan badan dan mengucap terima kasih. Penasaran aku mengangkat wajahku dan mataku  terbelalak mengetahui sosok pria di depanku.

"Kita bertemu lagi, Lily."

"M-mas Bian?"

Fabian.

Pacarku sewaktu duduk di bangku SMA, kakak kelas dua tingkat di atasku. Kami berpisah tanpa temu dan kata delapan tahun silam.

Fabian tersenyum, senyuman yang sama seperti dulu. Mataku terpaku menatapnya. Delapan tahun tidak bertemu dia semakin tampan.

Anjir!

Ingin ku tampar pipiku sendiri menyadari bahwa aku terpesona padanya.

"Apa kabar?" Dia meraih tanganku dan mencium punggung tanganku. "Senang bisa bertemu lagi denganmu, Sayang."

Seketika aku sadar dan menarik tanganku. Aku harus tetap waras dan ingat bahwa aku masih istri seseorang.

Melihat kegelisahanku, Fabian tersenyum lebar. "Mau sarapan bareng? Ada banyak hal yang harus aku jelaskan tentang perpisahan kita."

Aku menggeleng. "Maaf, aku nggak bisa, Mas."

"Kamu buru-buru?"

Aku menggeleng lagi. "Sebaiknya kita nggak usah ketemu lagi. Aku sudah menjadi istri orang lain."

"Sebentar saja."

"Apa yang harus dijelaskan?"

"Semuanya."

Fabian menatapku dalam, aku salah tingkah dan berusaha tidak menunjukkan kegugupanku. "Please."

Di sudut hatiku, aku sangat menginginkan pertemuan ini. Apakah tidak akan ada masalah jika aku melanjutkan pertemuan kami? Bukannya takut akan penilaian orang lain, tapi aku takut hatiku akan baper saat bersamanya.

Hai tampan, kenapa baru sekarang kamu kembali?

***

Kami memakan sarapan dalam diam di restoran hotel. Sesekali Fabian menatapku lekat selama dia mengunyah. Sungguh aku semakin panas dingin mendapat tatapan itu. Aku tahu artinya.

Mine (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang