1. Vonis

910 33 2
                                    

"Sebaiknya kita berpisah, Mas. Kamu kan, yang gak bisa ngasih keturunan."

Aku terdiam saat Riska --istriku-- mengatakan hal itu. Harga diri sebagai seorang laki-laki telah terlecehkan. Namun, memang itulah kenyataan yang harus diterima. Hasil tes dari rumah sakit menyatakan kalau aku mandul.

Pantas saja, sudah hampir dua tahun kami menikah dan belum diberikan momongan. Selama ini tuduhan selalu disematkan kepadanya, karena aku sendiri beberapa kali menolak untuk mengikuti tes.

Rasa iba ketika melihat dia terus dicaci- maki oleh keluarga membuat hati ini tak tega. Akhirnya kami sepakat untuk melakukan tes bersama. Hasilnya? Akulah penyebabnya.

Aku menangis memohon ampun di setiap sepertiga malam, atas dosa-dosa yang selama ini telah diperbuat. Mungkin inilah hukuman karena aku kerap berbuat zina. Entah sudah berapa banyak wanita yang telah singgah di malam-malamku.

Dulu di masa muda, karena kesulitan ekonomi saat kuliah, aku bekerja sebagai penjaja cinta kepada wanita-wanita kesepian yang ditinggal oleh suaminya. Juga wanita lajang yang enggan menikah namun tetap menginginkan kehangatan laki-laki.

Selama ini Riska tidak tahu. Dia hanya tahu kalau aku mempunyai bengkel karena sering membawa kendaraannya untuk di-service. Dari situlah kami dekat, kemudian saling jatuh cinta dan memutuskan untuk menikah.

Bengkel itu dibangun dari uang hasil menjaja diri. Aku menabungnya sedikit demi sedikit selama beberapa tahun, sebagai persiapan jika nanti pekerjaan itu aku tinggalkan.

Jangan tanya bagaimana rupaku, kulit putih dengan wajah yang bersih tanpa noda. Perut kotak-kotak dan otot yang liat, membuat para kaum Hawa menjerit kesenangan setiap melihatnya. Untuk mendapatkan hasil maksimal, aku melatihnya secara rutin di sebuat pusat kebugaran di kota ini.

Aku tak sengaja mengetahui pekerjaan ini dari seorang teman. Lebih tepatnya dia kakak tingkatku, karena kami sama-sama aktif di sebuah organisasi pecinta alam. Dia yang telah memperkenalkan aku kepada wanita-wanita itu.

Kami bertatap muka langsung dengan pelanggan di sebuah tempat yang sudah disepakati. Berbincang sejenak sebagai basa-basi. Setelah deal, maka akan ditentukan tempat bertemu. Biasanya di sebuah hotel berbintang. Namun, tak jarang di sebuah losmen melati yang lapuk karena tak semua pelanggan memiliki banyak uang.

Aku bahkan pernah memberikan layanan gratis karena merasa kasihan kepada seorang wanita. Kupuaskan dia hingga larut malam di rumahnya yang sepi, tetapi tentu saja wajahnya cantik. Jika tidak, aku tak mau.

Jangan kalian tanya juga berapa jumlah boks alat pengaman yang kami harus siapkan. Benda itu seperti rokok yang wajib dibeli dalam jumlah banyak.

"Kenapa melamun, Mas? Dulu keluargamu menghina aku. Mengatakan kalau aku istri tak berguna. Ternyata selama ini kamu yang bermasalah."

Aku tersentak dan menatap wajah Riska dengan gamang. Tak menyangka dia akan berkata seperti ini. Wanitaku yang ayu dan lembut kini berubah menjadi seperti singa ketika marah.

"Apa kamu gak bisa nerima aku apa adanya?" tanyaku penuh harap.

Begitu dalam rasa sayangku kepada Riska, sehingga ketika memutuskan untuk menikah, aku berhenti dari pekerjaan laknat itu dan fokus mengurus bengkel.

"Aku sakit hati, Mas," isak tangisnya mulai terdengar. "selama ini aku diam karena menerima jika ini memang takdir. Ternyata kamulah penyebabnya."

Aku berusaha merengkuh tubuh itu ke dalam dekapan. Namun, dia menolak dengan halus. Riska bahkan berjalan keluar kamar dan meninggalkanku sendirian.

Kutarik napas panjang dan mengembuskannya pelan. Masih erat kugenggam kertas hasil pemeriksaan itu sebulan yang lalu. Hanya saja kami masih sama-sama merahasiakannya dari keluarga demi menjaga nama baik. Namun, sepertinya kali ini Riska sudah tidak tahan.

Apalah artinya hidup seorang laki-laki jika tidak bisa membuahi. Hina.

Aku berjalan keluar untuk mencari istriku dan mencoba untuk membicarakan permintaannya tadi. Berharap dia berubah pikiran karena wanita kadang terbawa emosi. Tak lama terdengar suara mobil dari garasi yang meninggalkan rumah. Aku mengintip lalu merasa kecewa.

Aku kembali ke kamar, merebahkan diri di ranjang dan menatap langit-langitnya yang kosong. Teringat ucapan adikku yang mungkin saja telah melukai hati Riska.

"Mas nikah aja lagi kalau dia gak bisa hamil. Masa keluarga kita gak punya penerus laki-laki. Anakku perempuan semua."

Dina, adikku satu-satunya yang paling aku sayang, justru menganjurkan sebuah pilihan yang sulit untuk diterima. Entah bagaimana dengan sikap ibuku. Beliau tak pernah membahasnya jika aku berkunjung.

"Jangan bilang begitu, Dek. Mas gak tega sama mbakmu. Dia baik dan mau menerima keluarga kita apa adanya. Dia dari keluarga kaya dan juga udah banyak bantu," jawabku bijak.

Riska memang banyak mengangkat nama keluargaku karena dia berasal dari keluarga berada.

"Kalau dia gak mau diceraikan ya mending solusinya begitu. Jadi adil."

Aku tersentak dari lamunan saat ponsel berbunyi. Dengan cepat kuraih benda pipih bewarna hitam itu lalu membuka pesan. Mataku terbelalak saat membaca isinya.

"Mas Rahman. Aku kangen. Kamu lama gak keliatan di kelab. Ke mana aja? Mau booking padahal."

Walaupun aku tidak menyimpan nomornya, namun aku tahu itu dari siapa melihat dari foto profile-nya.

Sinta. Pelanggan tetapku dulu. Istri salah satu pejabat pemerintahan yang cukup terkenal di kota ini. Orangnya royal dan suka memberikan tip. Kadang-kadang suka memberiku hadiah jika berpergian dari luar kota atau luar negeri.

Sinta merasa kesepian karena suaminya sibuk bekerja. Hal itu yang selalu dia ceritakan kepadaku setiap kami berduaan. Lalu, darimana dia mendapatkan nomor ponselku? Bukankah yang lama sudah aku buang.

Apa jangan-jangan, dia ....

Aku Suami Mandul [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang