extra 06 | rumah eyang

54 12 3
                                    

Bangunan itu berukurkan 700 meter persegi. Di mana, luas rumah utama berukuran 400 meter, tingkat dua dan memiliki ruang bawah tanah serta ruangan khusus yang berisi banyak pusaka peninggalan nenek moyang di zaman dahulu—yang saking banyaknya, akhirnya berserakan di setiap sudut ruangan yang ada di rumah itu.

Ruang tamu, ruang tengah, dapur, bahkan sampai ke kamar si kembar tidak identik pun terdapat banyak benda-benda pusaka. Yang jangan ditanya apakah memiliki kekuatan magis? Jawabannya tentu saja ada.

300 meter sisanya adalah bangunan sebuah padepokan silat yang dirintis oleh eyangnya bersama adiknya—Koko dan Keke biasa memanggilnya eyang Ujang—yang juga sama-sama mendirikan padepokan di daerah Sukabumi. Setiap harinya, bangunan 300 meter itu ramai oleh para murid eyang dari muda hingga tua—rata-rata isinya laki-laki. Ada perempuan, tapi tampangnya sangat sangar.

Terdapat sekitar 10 orang asisten eyang yang membantu dalam proses mengajar, muridnya pun hingga 80 orang. Koko ataupun Keke tidak terlalu tahu mengenai sistem pembelajaran di padepokan eyangnya itu. Tapi kalau ditanya ilmu-ilmu bela diri yang dipelajari, mereka ahlinya.

Tapi ini bukan tentang padepokan sakti itu. Tapi ini tentang seorang pria tua berkumis lebat yang sedang mengunyah sirih di pagi-pagi buta dengan mengenakan kopeah hitam, sarung kotak-kotak serta kaos hitam bertuliskan "I love Bogor"—yang merupakan hadiah pemberian cucunya yang dibeli di Taman Topi.

Pria tua itu menatap jam dinding yang terpasang di samping lukisan Nyi Roro Kidul bersama harimau yang menunjukkan taringnya. Lalu beberapa detik kemudian menatap ke arah tangga.

"KOKO!! KEKE!! HUDAG GEURA IEU GEUS SUBUH!!" (Bangun cepet ini udah subuh!)

Pria itu berteriak memanggil kedua cucunya yang dia yakin masih berpelukan mesra dengan guling serta selimut. Pria itu menatap ke arah tangga yang masih belum menampakan dua anak muda yang kemarin pulang malam-malam seraya membawa banyak oleh-oleh—hampir dua dus—dari Yogyakarta. Yang sekarang dus tersebut tergeletak di samping televisi bersebelahan dengan miniatur patung hanoman.

"KOKO!! KEKE!! SOLAT SUBUH HEULA ATUH! ULAH JIGA PELOR KITU!!" (Solat subuh dulu, dong! Jangan kayak pelor gitu!)

Pria yang dipanggil 'Eyang' oleh si kembar tidak identik itu, menghela napasnya kasar dan menelan sirih yang sedang dia kunyah. Kemudian pria tua itu mengambil kentungan di atas lemari hias dan naik ke lantai atas. Pria itu membuka pintu kamar cucu pertamanya. Koko.

Pintunya tidak dikunci, pria itu sedang berbaring dengan posisi yang tidak mengenakan sampai membuat eyangnya berdecak seraya menggeleng-gelengkan kepalanya. Beberapa detik kemudian, pria tua itu memukul kentungan tepat di hadapan wajah cucu tertuanya itu.

"Enggeus subuh, woy! Geura Hudag! Ku urang banjur make cai, yeuh!" ujar eyang terus memukul kentungan. (Sudah subuh, woy! Buru bangun! Gue siram pake air, nih!)

Reaksi Koko hanya mengerang dan berbalik badan. Lanjut tidur tanpa terusik dengan suara kentungan yang terus menerus dipukul dan menimbulkan suara sumbang—yang tanpa disadari justru malah membangunkan penghuni kamar sebelah.

"Eyang ngapain, sih?! Ini masih malem tau, gak! Kenapa bersisik bangeeet?!" Keke muncul di ambang pintu dengan penampilan yang semrawut.

"Malem dari Hongkong!!" sewot eyang. Pria tua itu menunjuk jam digital yang ada di nakas. "Enggeus tabuh lima pagi, Geuliiis! Its taim tu sholat subuh!" ucap eyang memplesetkan sedikit bahasa Inggris, lantaran cucunya fasih bahasa tersebut dan memacu pria tua itu mempelajari bahasa asing itu.

"Ck! Iya, iya, ntar!" balas Keke ogah-ogahan.

Gadis itu berbalik badan dan pergi begitu saja meninggalkan eyangnya. Kembali ke kemarnya—entah melakukan apa yang disuruh oleh eyangnya atau malah justru kembali nyungsep di kasurnya.

yang baik belum tentu baikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang