Kau sudah muak.
Membenci setiap hal, setiap bagian, dan setiap isi dari tempat ini. Tempat yang mengukungmu untuk bergerak bebas, bahkan setiap tarikan napasmu terasa sukar. Menghimpit dada. Membuatmu ingin segera melepaskan peluru pada pistol yang senantiasa tergantung pada pinggang seandainya, seandainya saja Suna Rintarou tidak berada di sisimu.
Menjagamu.
Memperhatikanmu.
Pertemuan pertama kalian masih tercetak jelas dalam benak, ketika tubuhnya masih terlalu kecil bahkan untuk memanjat pohon di taman belakang istana yang terlalu besar. Masih jauh berada di bawahmu, lalu dalam satu jentikan jari, dalam beberapa perubahan musim, kakinya berubah menjadi lebih panjang. Lebih jenjang. Dan, setelah kau tersadar, Suna Rintarou sudah jauh lebih tinggi. Mengingatkanmu akan dinding tinggi di luar sana.
Bibirmu mengerut ketika mengingat dinding besar itu, bagian dari pulau ini yang telah merengut segala sesuatunya dari dirimu. Merampas kewarasanmu secara perlahan-lahan. Dimulai dari kedua orang tuamu yang jatuh pada lubang neraka. Terhisap oleh duka akan kenyataan pahit yang menampar wajah, lantas mengabaikan realita. Membiarkan penyihir sialan itu meraih apa yang dahulu merupakan milikmu.
"Tuan Putri."
Nada itu cenderung rendah dan datar, walau di baliknya kau dapat merasakan maknanya lebih dari yang seharusnya. Tinggal bersama- tidak, tinggal hanya berempat di istana sebesar ini membuatmu perlahan terbiasa.
"Panggil namaku, Suna."
Suna menghela napas, ikut berdiri di sisimu selagi memandangi bunga sakura bersama salju yang berguguran di luar sana. Cuaca pasti terasa dingin. Menusuk. Walau, ironisnya tempat ini seolah dikutuk untuk selamanya bergelut dengan udara dingin. Dengan badai yang meluluhlantakkan segalanya kecuali istana yang berdiri kokoh. Terisolasi.
"Apa yang kau pikirkan?"
Kau meliriknya sekilas, memuji dalam diam bagaimana pria itu mampu mempertahankan wajah datarnya. Mata runcing itu bertabrakkan dengan milikmu untuk beberapa saat, sebelum senyum tipisnya perlahan terukir pada wajah yang dipenuhi luka kecil. "Aku akan memastikan kau selalu dalam keadaan yang baik."
Sekeras apa pun kau berusaha, kau tidak mampu mengukir senyum yang sama. Melihat bagaimana salju tetap turun deras selama beberapa tahun, membuat harapan yang semula berkobar kini perlahan sirna. Kau mulai mempertanyakan arti semua ini. Pada akhirnya, kau akan mati.
"Kau mengingat," ucapnya menggantung, membuat atensimu kembali terarah padanya. "Janjimu pada saat itu?"
Keningmu mengerut, sepertinya terlalu banyak janji kosong yang kalian lontarkan selama ini hingga kau kehilangan perhitungan.
Melihat reaksimu, satu hembusan napas lolos dari bibirnya. Sedikit banyak menduga. "Untuk melihat sakura berguguran di negeri sana. Negeri yang semula milikmu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hanami | Suna Rintarou
Fanfiction[under revision!] Suna Rintarou akan selalu berada di sisimu. Apa pun yang terjadi. Bahkan, ketika mimpi untuk melihat bunga berguguran itu harus dipenuhi kubangan darah. ⚠️WARN! Suicide Thought, Bloody Scene, Depression⚠️