"Jadi, apa kau akan berbicara atau hanya diam seperti orang mati?"Atsumu mengerjap lalu terbatuk, sebelum dengan cepat menegak lebih banyak air dalam gelas selagi menghangatkan tubuhnya di depan perapian.
Sudah berapa tahun semenjak dia terakhir kali bertemu dengan dua sosok di hadapannya, sosok yang senantiasa terlihat bersenang-senang di dalam istana, bertukar tawa bahagia bukan dengan tatapan kosong yang menusuk. Seperti seluruh jiwa telah ikut terhisap bersama tragedi itu, meninggalkan cangkang kosong.
Apa yang sudah terjadi kepada dua isan yang dikasihinya?
Pandangannya kembali bertabrakkan dengan milikmu sebelum Atsumu dengan cepat mengalihkannya pada suara api yang membakar kayu. "Bicaralah." Kau menghela napas. Hendak bangkit sebelum suaranya menginterupsi dengan takut berselimut keraguan. "Kupikir kalian sudah tidak ada di dunia ini." Dia mengeraskan genggamannya pada cangkir. "Segalanya mulai hancur, seseorang yang tidak seharusnya berada di atas takhta. Keseimbangan itu goyah."
Kau menipiskan bibir, mulai menggerakkan tungkai untuk meninggalkan ruangan sebelum tangan Suna yang jauh lebih panjang menghalangimu. Menggeleng pelan. Kau menatapnya tajam, tidak ada gunanya berada di tempat ini dan mendengar keluh kesah Atsumu. Kau sudah bertekad meninggalkan orang yang menusukmu, orang yang membuangmu dari tanah kelahiranmu sendiri. Lantas, setelah segalanya hancur kini mereka mengemis bantuan? Kau terkekeh pelan, bukankah mereka harus merasa malu.
"Tuan Putri, sungguh. Kupikir kau sudah terbunuh ketika meninggalkan perbatasan wilayah." Atsumu kini mengangkat wajah, membuatmu dapat merasakan tatapannya yang memohon pada punggungmu. "Saat itu keadaan sungguh kacau, pamanku tidak mampu menemukanmu. Kami menunggu beberapa waktu, bergerak mencari ke seluruh bagian kota tetapi," ucapannya terhenti. Dia terlihat ragu untuk melanjutkan sementara pandangannya kini jatuh pada karpet gelap di bawah.
Kau rasanya dapat menebak apa yang terjadi.
"Lalu, apa alasanmu berkunjung ke tempat ini?"
Atsumu menggigit bibir. "Kembalilah."
Keningmu mengerut. Atsumu adalah satu dari sekian banyak orang yang selalu jujur, terus-terang dengan kalimatnya, hampir senantiasa mengabaikan peraturan aristokrat yang menuntut siapa pun dalam wilayah istana, siapa pun yang memiliki darah bangsawan untuk bersikap sempurna. Memaksa mereka menjadi pribadi yang munafik.
Tetapi, semenjak memasuki pintu besar itu, ketika kakinya melangkah masuk dan duduk di kursi kayu itu, sosok yang dikenalnya seolah lenyap di balik raut berkerut dengan kelelahan mendominasi. Membuatnya terlihat jauh lebih tua daripada yang seharusnya. Tidak ada lagi gurat keangkuhan itu, sesuatu yang menjadi ciri khasnya. Membedakannya dengan Osamu sehingga kau tidak kesulitan membedakan keduanya.
"Apa maksudmu?"
Tubuhmu menegang ketika melihat sorot putus asa pada netranya. Atsumu tidak pernah memohon seumur hidupnya. Tidak, bahkan ketika posisinya dipertaruhkan atau ketika Kita Shinsuke memilih orang lain dibandingkan dirinya, memutuskan merubah statusnya dalam kemiliteran.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hanami | Suna Rintarou
Fanfiction[under revision!] Suna Rintarou akan selalu berada di sisimu. Apa pun yang terjadi. Bahkan, ketika mimpi untuk melihat bunga berguguran itu harus dipenuhi kubangan darah. ⚠️WARN! Suicide Thought, Bloody Scene, Depression⚠️