11. PREMATUR

41 2 0
                                    

“Ketika kejujuran diriku tak mampu mengunggah hati, maka berilah waktu untuk kita saling introspeksi diri. Mungkinkah cinta kita yang terlalu lemah,, sehingga mudah diombang ambing gelombang?”

Raka menerima telepon dari Bi Rum yang mengabarkan tentang kondisi istrinya yang dibawa ke rumah sakit. Wajah Raka berubah panik dan ia segera mengemas barangnya.

“Ada apa, Raka?” tanya Dina heran.
“Istriku masuk rumah sakit. Aku harus segera pulang. Tolong kamu handle pekerjaanku dulu ya, Din. Nanti aku ketemu dengan Pak Isman untuk pamit,” jawab Raka sambil mengambil tas kerjanya.

“Nggak usah, kamu pergi saja. Nanti aku yang  akan menyampaikan pada Pak Isman tentang situasi yang kamu hadapi. Pulanglah!” perintah Dina.
“Benarkah! Baiklah. Terima kasih ya, Dina. Aku permisi pulang dulu,” ucap Raka dan segera pulang.

Ia mengendarai motor vario, kesayangannya dengan kecepatan 60 km per jam. Ia benar-benar heran, padahal pagi tadi kondisi Nadira tidak apa-apa. Mengapa dia bisa di bawa ke rumah sakit. Apa yang sedang terjadi sebenarnya? Berbagai pertanyaan dan kemungkinan bermain di pikirannya. Mungkinkah istrinya terjatuh dan mengalami perdarahan?

Ketika sampai di RS dr. Soetomo Raka segera memasuki area parkir. Setelah itu ia segera berlari ke ruang IGD utuk mendapatkan informasi. Ternyata Nadira harus menjalani operasi SC karena kondisinya yang lemah dan tekanannya naik. Persetujuan operasi di tandatangani oleh papanya.

“Di mana ruang operasi, suster?” tanya Raka makin panik.

Mertuanya sama sekali tidak menghubunginya hanya sekedar menanyakan pendapatnya. Apakah kondisi istrinya benar-benar gawat, sehingga tidak ada waktu untuk berdiskusi dengan dirinya. Mengapa ia menjadi orang terakhir yang mengetahui kondisi istrinya. Ada apa ini? Mengapa Papa seperti menyembunyikan sesuatu darinya?

“Silakan Bapak mengikuti arah kanan dari depan pintu ini, Pak. Bapak bisa menunggu di ruang tunggu karena jaraknya juga tidak jauh,” ucap perawat Arsyi. Raka mengetahui nama perawat tersebut sesuai nametag di bajunya.

“Baiklah. Terima kasih,” ucap Raka.

Ia segera meikuti petunjuk perawat tersebut dan melihat lampu ruang operasi yang berwarna merah. Dilihatnya sang mertua sedang duduk sambil mengatupkan kedua tangan dan berdoa untuk keselamatan putrinya.

“Pa, bagaimana keadaan Nadira?” tanya Raka pelan.

Prasetyo yang melihatnya sangat murka dan ia melemparkan sebuah amplop coklat pada Raka.

“Semua ini akibat perbuatanmu,” ucapnya dengan suara dingin.

Tatapannya tajam mengarah pada Raka dan selanjutnya ia memilih diam sambil terus berdoa. Raka yang tidak mengetahui masalahnya merasa bingung. Ia melihat amplop coklat tersebut dan melihat isinya. Betapa terkejutnya Raka ketika melihat foto-foto dirinya bersama Dina dalam segala pose. Siapa yang telah mengambil foto-foto ini? Apa maksudnya?

Raka berusaha mencerna apa yang terjadi, tetapi belum sempat ia menelaah, tiba-tiba pintu ruang operasi telah terbuka dan tubuh Nadira di bawa keluar. Prasetyo segera mendapatkan putrinya dan mengikuti petugas tersebut.

“Dok, bagaimana anak saya?” tanya Raka menahan salah satu petugas kamar operasi emergency.

“Anda apanya?” tanya dokter tersebut.

“Saya suaminya, Dok,” sahut Raka cepat.

“Kondisinya belum stabil. Bayimu laki-laki dan saat ini mengalami asfiksia berat. Ia harus dibawa ke ruang NICU untuk mendapat perawatan selanjutnya,” jelas dokter tersebut. Raka tambah terkejut mendengar kondisi anaknya.

The License of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang