The Begining of Blue Umbrella

3 0 0
                                    

Menjadi berprestasi merupakan suatu hal yang sangat diinginkan bagi semua orang. Mereka akan melakukan cara apapun untuk mewujudkan hal tersebut. Namun, berbeda dengan perempuan yang gigih dan kuat serta memiliki kecerdasan yang mumpuni ini. Dia menjadi berprestasi dan mampu mengelilingi dunia hanya karena dia ingin mengembalikan payung biru yang tidak sengaja dipinjamkan oleh seorang laki-laki saat remaja. Putri, nama ini terdengar indah namun mempunyai tanggung jawab yang besar. Tanggung jawab itu membawanya ke dalam problematika cinta yang cukup rumit. Mungkin, kalian akan mengira bahwa dia akan memerankan realita cinta dalam novel pada umumnya. Akan tetapi, ini bukan cerita cinta biasa. Sebagai petunjuk, satu kata yang menggambarkan bagian cerita ini adalah TEDUH.

Lima tahun yang lalu, hujan membasahi kota pada pagi hari dengan tetesan air yang indah dan angin yang sejuk. Bus kota yang biasa mengantarkan siswa menuju ke sekolah tidak kunjung datang karena selalu ada masalah ketika hujan tiba, baik itu kecelakaan, kondisi busnya, dan mood supir bus. Anak perempuan yang baru berumur empat belas tahun kala itu masih terdiam di halte bus dan kedinginan.

Masih kedinginan, remaja bernama Putri meraba tasnya dan meraih jaket yang sengaja dia bawa karena dia tahu pagi ini akan datang hujan. Dia langsung memakai jaketnya sambil menikmati tetesan demi tetesan hujan dari hukum alam yang tidak sempurna. Sepuluh menit kemudian, bus datang dengan cepat dan menghampiri halte yang dituju. Putri langsung masuk saat bus sampai ke halte dan seketika pintu bus tertutup rapat. Bus berangkat dengan cepat mengingat supirnya, Pak Amin terlambat datang ke terminal.

"Cepat, Pak! Kelas akan dimulai sebentar lagi."

"Iya. Ini udah cepat, kok."

Pak Amin mengemudi busnya dengan cepat. Walaupun masih dalam kondisi hujan, bus telah sampai lima menit dari awal keberangkatannya. Hal ini menjadi keuntungan bagi Pak Amin karena halte bus tidak jauh dari sekolah. Sesampainya di sana, Putri bersama teman-teman turun dari bus dan beranjak berjalan ke sekolah. Akan tetapi, kondisinya masih hujan. Semua siswa membawa payung, kecuali Putri. Dia lupa membawanya karena dia juga buru-buru pergi ke sekolah. "Aduh, aku lupa bawa payungnya."

Sampai suatu ketika, remaja laki-laki berusia sekitar lima belas tahun datang menghampirinya. "Assalamu'alaikum."

"Wa 'alaikumussalam."

"Kamu nggak bawa payung, ya?"

"Iya, nih. Memangnya kenapa?"

Laki-laki bernama Ihsan meraba tasnya dan menemukan ada dua payung yang tidak sengaja dia bawa dan meraih satu payungnya. "Nih, aku pinjamkan untukmu."

"Eh, usah begitu. Nggak papa, kok."

"Jangan begitu. Kamu bakalan basah dan kedinginan nanti."

Dengan terpaksa dan memang sudah tidak ada pilihan, Putri menerimanya. "Terima kasih. Besok aku kembalikan punyamu."

"Oke. Kalau udah cerah, aku tunggu di halte. Kalau masih hujan, kamu pakai dulu. OK?"

Dengan payung pemberian Ihsan, Putri berteduh di bawahnya untuk mendapatkan perlindungan dari rintikan air hujan yang awalnya Indah namun berbahaya apabila imun tidak kuat untuk menanganinya.

Sesampainya di kelas, keadaan Putri sedikit basah dan kedinginan. Namun, kondisi itu tidak membuat dia gelisah karena payung yang dia kenakan. "Payung ini berguna banget. Aku harus berterima kasih dengannya saat pulang nanti."

Kelas berlalu begitu cepat dan cuaca semakin cerah. Hal ini membuat Putri semakin bersemangat untuk mengembalikan payungnya sekaligus mengucapkan terima kasih sekali lagi pada Ihsan. Akan tetapi, di halte sekolah tidak ada siapa-siapa. Lalu, dia menunggu Ihsan datang ke halte. Satu jam berlalu, dia belum kunjung datang. Dua jam berlalu, dia masih belum menampakkan batang hidungnya. Padahal, dia tidak bisa berlama-lama lagi di halte sekolah. "Mungkin, payung ini aku kembalikan besok."

Menaiki bus kota menjadi transportasi andalannya karena rumahnya terbilang tidak dekat dari sekolahnya. Setelah beranjak dari halte ke halte, akhirnya sampai juga halte bus yang dia tuju. Berjalan menuju rumah, dia harus membawa payung itu hati-hati karena dia tahu ini pinjaman dari Ihsan.

Sesampainya di rumah, dia menyapa dengan suara lembutnya. "Assalamu'alaikum, Ibu."

"Wa 'alaikumussalam, Putri. Kamu sudah pulang ya?"

"Iya, Bu."

"Payungmu ketinggalan lagi tuh. Kebiasaan deh, selalu buru-buru."

"Maaf, Bu. Hehe.. "

Seketika, Bu Wulan, ibu dari Putri melihat payung yang Putri bawa. "Payung siapa tuh?"

"Payung ini dari teman Putri, Bu. Dia meminjamkannya untuk Putri."

"Laki-laki atau perempuan?"

"Eh. Kok Ibu tiba-tiba bertanya seperti itu?"

"Nggak papa sih. Cuma, Ibu penasaran aja sama yang ngasih payung itu."

"Laki-laki sih, Bu."

"Beneran itu temanmu?"

"Ih. Apa sih Ibu ini? Buat Putri malu saja."

"Iya. Seperti putri malu kalau gitu. Hehe.."

"Ibu ini... "

"Sudah. Nggak papa, kok. Tapi, nanti kembalikan lagi pada dia ya?"

"OK, Bu."

"Kok jawabnya semangat banget?"

"Ih. Ibu mah..."

Sekian lama mereka bertukar candaan, Putri masuk ke dalam kamarnya dan meletakkan payungnya ke dalam lemari dan dikunci supaya tidak ada yang mengambilnya. "Tinggal menunggu besok, ya?"

Keesokan harinya, langit dalam kondisi cerah menerangi bagian bumi yang Putri tepati. Namun, dia masih membawa payung. Tentu saja, itu adalah payungnya Ihsan. Dia harus mengembalikan sesuai janjinya di halte bus. Tetap saja, Ihsan tidak ada di halte bus sekolah itu. Saat melihat ke sekitar sekolah, Ihsan juga tidak menampakkan batang hidungnya. Tidak lama kemudian, datang seorang sahabatnya bernama Mira menghampirinya.

"Kamu kenapa?"

"Aku mau ngembaliin payung ini ke Ihsan. Tapi, orangnya nggak ada. Dimana ya?"

"Coba kamu tanya sama anak di kelasnya. Barangkali beliau tahu tentang Ihsan."

"Eh. Benar juga ya? OK. Terima kasih ya? Nanti kita ke kantin siang ini."

"OK, Put."

Kelas Ihsan berada tidak jauh dari kelas Putri dan itu bisa dilihat dengan mata telanjang. Putri segera ke sana dan melihat kondisi kelasnya

"Permisi. Apakah Ihsan ada di kelas ini?"

"Oh, Ihsan." "Kata Pak Wali tadi, Ihsan sudah dipindahkan ke sekolah lain karena ada urusan."

"Apa? Dipindahkan?"

Seketika, Putri jatuh dan tidak sadarkan diri. Beberapa siswa melihat kejadian itu dan langsung membawanya ke UKS. Mira juga ada di sana untuk mengecek keadaannya.

Saat Putri tersadar, Mira ada di sampingnya. Sambil menenangkan Putri, Mira bertanya sesuatu padanya. "Ada apa, Put? Kok kamu bisa pingsan"

"Mira, aku takut. Aku tidak bisa menjaga titipan ini."

"Kamu masih memikirkan payung itu, ya?"

"Aku ingin segera mengembalikannya, tapi Ihsan pindah ke sekolah yang lain."

"Yaudah, sabar aja. Kamu pasti bakal ketemu dia, kok."

"Benarkah? Gimana caranya? Kasih tahu aku!"

"Hanya satu caranya. Kamu harus keliling dunia."

"Keliling... Dunia?"

"Aku sebagai sahabatmu memang akan selalu mendukungmu. Tapi, aku tidak bisa kalau hal yang satu ini. Itu berarti, kamu harus mencarinya."

"Jika itu memang satu-satunya cara, aku akan melakukannya."

"Nah. Gitu, dong?" "Sahabatku harus tetap semangat."

"Aku akan mencarinya sampai ke ujung dunia."

Sejak hari itu, Putri mengawali prestasinya dari Indonesia sampai mancanegara. Tujuannya hanya satu. Dia hanya ingin mengembalikan payung biru milik Ihsan. Itu saja.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 02, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

TEDUHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang