14. Melupakan Masa Lalu

37 7 7
                                    

Assalamu'alaikum semuanya...
Ada yang rindu Maira ndak sih..
Maira datang lagi...
Salam sayang dari Maira...
Happy Reading

Jangan lupa vote Maira ya.. 😘😘😘🥰

***
"Masa depan yang cerah itu berdasarkan pada masa lalu yang telah dilupakan. Kamu tidak dapat melangkah dengan baik dalam kehidupanmu sampai kamu melupakan kegagalan dan rasa sakit hati."

***
Menutup kisah lama yang menorehkan luka dan mencoba mengukir kisah baru. Tetap melangkah ke depan menggapai masa depan. Cukup menjadikan masa lalu sebagai pelajaran.
Dari masa lalu aku belajar ikhlas walau berat. Dari masa lalu aku belajar kuat walau rapuh. Dari masa lalu aku belajar melepaskan walau sakit. Dia datang hanya menjadi seprihan kenangan.

Sebulan telah berlalu, sudahkan melupakan semuanya? Tentu belum. Biarlah semua berjalan dengan semestinya untuk melupakan semua. Agar kelak tak ada rasa sakit hati ketika aku mengenangnya. Karena semua sudah ketetapan sang Maha Kuasa.

Tentang Gus Hamam. Ah, aku tidak mau lagi berharap pada siapapun. Semua kupasrahkan pada Allah.

Ah, betapa bodohnya diriku saat itu yang dengan terang-terangan mengungkapkan rasa sakit ini padanya. Bahkan kumenagus tersedu-sedu di hadapannya. Terkadang orang yang mengalami patah hati itu lupa daratan. Tak tahu malu memang, seperti diriku.

Rasanya jika mengingat itu, tak ingin kumenampakkan wajah ini di hadapannya. Malu ... Sungguh, jika tak sengaja berpapasan dengan Gus Hamam aku hanya mampu menunduk.

Tentang ucapannya sebulan lalu? Entahlah, Aku rasa itu hanya kata untuk menghibur kesedihanku saja. Aku pun tak mau ambil pusing. Cukup sadar diri siapa diri ini.  Sekarang tujuanku disini cukup satu belajar, belajar dan belajar. Tak ingin kumemikirkan hal lain lagi.
Cukup sekali merasakan luka hati yang terdalam.

Libur setelah semester cukup membuatku lebih santai. Karena lepas dari tugas-tugas yang terkadang membuat pusing tujuh keliling.
Tak terasa kini aku sudah semester lima. Tinggal tiga semester lagi aku wisuda.

Pikiranku mulai berkelana, kira-kira setelah wisuda aku akan kerja dimana ya? Langsung boyongkah? Atau masih tetap mencari ilmu agama di sini atau menikah?
***

Malam ini selesai mengajar semua para asatidz berkumpul di kantor  mempersiapkan semester Madrasah Diniyah. Yang akan dilaksanakan besok.

Kelas diniyah dibagi menjadi tiga kelas. Madrasah diniyah Awwaliyah (MDTA) diperuntukkan bagi anak-anak berumur sekolah dasar dengan asumsi umur 9-12 tahun.

Sedangkan untuk Madrasah Diniyah Takmiliyah Wustha (MDTW) merupakan wadah bagi para siswa setingkat SLTP atau MTs dengan kisaran umur 12-15 tahun.

Dan untuk madrasah diniyah takmiliyah Ulya atau MDTU bagi mereka yang duduk di tingkat SMA atau MA.

Jam pelaksanaan kelas Diniyah di bagi menjadi dua. Siang hari  kelas awwliyah setelah salat zuhur sampai sore. Sedangkan ulya dan wustho di jam malam Setelah sholat Isyak. Aku sendiri ngajar di kelas wustho pun dengan Nur. Kalau Mbak Mila sendiri di kelas Ulya pun Gus Hamam. Dan masih banyak lagi para asatidz yang memiliki tugas masing-masing disetiap kelas yang mereka ampu.

Seperti biasa tiap pagi aku melakukan rutinitas masak di ndalem. Ummi pun ikut serta membantu. Aku menggoreng ayam. Mbak Mila membuat sambel terasi dan Ummi Ma'summah memotong-motong kangkung yang akan di tumis.

"Mai, nanti setelah sarapan temenin Ummi ke butik yo," perintah Ummi.

"Nggeh, Ummi," jawabku

***

Waktu menunjukkan pukul sembilan pagi Aku dan Ummi pergi ke sebuah butik yang terletak di kota, jarak antara pondok dan kota sekitar empat puluh menit.

Kami di antar oleh sopir ndalem, Kang Yusron. Abdi ndalem juga santri kepercayaan Abah. Kang yusron selesai wisuda sebulan lalu. Kakak tingkat Mbak Mila. Isu bertebaran Kang Yusron ini menaruh hati sama Mbak Mila. Hanya saja Mbak Mila terlihat cuek.

Kata Ummi Gus Hamam lagi ke toko Buku yang di kelolanya karena ada banyak buku yang datang harus di cek.

Tak terasa kini Aku dan Ummi telah sampai di butik  yang cukup luas. Menyediakan baju muslim-muslimah.  Aku mengekor di belakang Ummi kemanapun Ummi melangkahkan kaki.
Ummi memilih dan memilah gamis.

"Nduk, ini bagus ndak," tanya Ummi sambil mengambil salah satu gamis warna biru muda  yang tergantung.

"Wah, bagus Um, tapi kalau buat Ummi kurang pas Um, soalnya ini modelnya buat anak remaja," saranku.

"Lha, iku dudu kanggo Aku, Nduk. Buat calonnya Hamam, katanya setelah semester diniyah mau langsung di khitbah,"

Aku bergeming untuk beberapa saat. Untung saja hatiku belum kulabuhkan padanya. Jika sudah, bakalan sakit lagi hati ini.

"Alhamdulillah, Um," jawabku sambil tersenyum.

"Coba Nduk di tempelkan pada tubuhmu, soalnya katanya Hamam tadi ukurannya hampir sama dengan ukuran bajumu, makane sampean seng tak ajak kesini,"

Aku pun mengambil baju dari tangan Ummi dan menempelkan pada tubuhku. Tak lupa dengan senyum manis yang memamerkan gigi gingsulku.

"Wah, wes pas cocok, ayu tenan," puji Ummi.

"Pasti kalau di pakai calonnya Gus Hamam, tambh cantik nggeh Um," ungkapku.

Ummi hanya tersenyum menanggapi. Beliau pun mengambil gamis warna biru muda beserta Khimar cerutynya untuk di bawa ke kasir.

"Hamam iku seneng banget Karo warna biru muda, warna favoritnya itu," ucap Ummi.

Seketika aku ingat sebuah kain persegi panjang yang tempo lalu di berikan padaku. Sapu tangan biru muda yang terukir nama Gus Hamam di sisi sapu tangan tersebut.
***

Bersambung ...

Lentera Hati MairaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang