Aku ingin menjadi bulan.
Menerangi kegelapan di malam hari kemudian hilang setelah hari mendapatkan kembali cahayanya....
Hubungan Zivian dan Afara bahkan belum dimulai. Namun, Afara berniat melupakan segalanya. Seakan-akan kejadian beberapa hari ini tidak pernah terjadi dalam hidup Afara.
Afara menatap layar handphonenya. Sudah dua hari ini dia hanya berdiam diri di dalam kamar tanpa berniat pergi kemanapun.
Wisuda sudah di depan mata. Afara sebentar lagi benar-benar akan bergelar sarjana S-1.
"Afa? Itu hp kamu bunyi terus. Cek gih, barangkali penting," ujar Shinta yang tak sengaja lewat di depan kamar Afara.
Afara mengangguk. "Iya, Ma."
Afara membuka roomchat dirinya bersama Zivian. Semenjak adanya hubungan kerja sama antara keduanya, Zivian memutuskan untuk membuat grup khusus yang membahas hal-hal berkaitan dengan kerjaan.
Alasannya sangat tidak masuk akal. Zivian memberitahukan kepada Afara, jika dia sangat malas chat secara pribadi. Dia lebih menyukai chattingan di dalam grup.
Kerja Sama
Anda, ZivianKemana?
Ra, kenapa nggak datang?
Ara? Afara?
Ra, baik-baik aja 'kan?Afara tersenyum geli membaca pesan Zivian dua hari yang lalu. Apa pria ini tidak salah mengirimkan pesan? Sejak kapan nama Afara berubah menjadi Ara? Bukankah Ara nama perempuan masa lalunya?
Afara datang ketaman. Apa Afara lihat semuanya?
Ra, kamu jangan mikir aneh-aneh.
Ra, kamu jangan hilang tiba-tiba kayak gini.Afara benar-benar tak habis pikir. Bagaimana dia bisa menjadi seperti ini? Bukankah Zivian pribadi yang sibuk.
Mengirimkan pesan yang beruntun bukanlah kebiasaan Zivian. Itu kebiasaan Afara.
Centang biru?
Ra? Jangan dilihatin ajaAfara menatap kagum pesan yang baru saja dikirim Zivian.
Apa dia menunggu pesannya dilihat olehku? Batin Afara bertanya-tanya.
Afara tak berniat membalas pesan Zivian. Dia lebih memilih keluar dari grup itu setelah mengirimkan pesan berisi nomor Rama dan Ayara.
Kejam memang tetapi, Afara benar-benar tidak ingin berurusan dengan Zivian. Afara lebih memilih lari dari masalah hingga masalah itu selesai dengan sendirinya. Ah tidak, bukan selesai hanya hilang dan terlupakan.
Afara menonaktifkan internetnya dan lebih memilih mengambil buku catatannya.
Dia akan memulai hidup baru. Kembali ke awal bulan sebelum bertemu Zivian. Dia akan menulis rentetan kegiatan yang akan dilakukan untuk melupakan Zivian.
Seperti kebanyakan orang, Afara harus menghapus foto Zivian. Namun, Afara bahkan tidak mempunyai foto pria itu. Apa yang harus dia hapus?
Ah baiklah, lupakan cara melupakan dengan menghapus foto. Pasti ada cara lain, Afara bisa saja mencari di goggle. Namun, dia sangat malas mengaktifkan internetnya saat ini.
Afara menghela napas. Menjatuhkan dirinya di ranjang. Menatap langit-langit kamar yang bernuansa bulan.
Seluruh kamar Afara tidak jauh-jauh dari objek bulan. Bahkan, Afara memakai baju yang memiliki gambar objek bulan.
Sebut saja, Afara si pencinta bulan. Entah kenapa saat melihat bulan, dia seperti melihat dirinya.
Afara selalu saja memberikan cahaya kepada orang yang berada dalam kegelapan. Tanpa Afara sadari demi menyelamatkan mereka dari kegelapan, Afara harus terjebak dalam kegelapan itu sendiri.
Tok! Tok! Tok
Afara menoleh pada pintu. "Masuk! Nggak dikunci."
Afara melihat Ayara. "Ngapain ngetuk pintu? Biasanya juga langsung masuk tanpa permisi."
"Lupakan tentang itu. Nah dibawah, ada Zivian," ujar Ayana menarik tangan Afara untuk bangun dari rebahannya.
"Ngapain? Malas ah, mau move on." Afara melepaskan tarikan tangan Ayana.
"Ngapain move on? Dih, kayak bisa aja." Ayana mendudukkan dirinya di samping Afara.
"Kenapa mau move on? Baru aja mulai, udah mau melupakan. Kenapa? Ada masalah?"
Afara menutup diri di balik selimut. "Kepo!"
Ayana menggeleng kepala heran. "Nggak ada move on, move on segala. Buru kebawah, nggak baik buat orang kelamaan nunggu."
Afara berdecak dibalik selimut. Dia mengeluarkan sedikit kepalanya dibalik selimut dan menatap kesal Ayana.
"Bilangin ke dia. Afara mau move on, kalau lihat wajahnya jadi gamon. Terus bilangin juga, semoga bahagia dengan cinta masa lalunya. Udah sana pergi, aku mau sendiri."
Ayana berdiri dari duduk. "Jangan kekanak-kanakan, Afa. Kamu udah besar, udah 24 tahun!"
"Aku emang kekanak-kanakan. Nggak pantes sama dia yang dewasa. Udahlah, sampaikan aja aa yang tadi aku bilangin."
"Afa. Serius! Jangan kayak gini."
Afara menghela napas. Dia memang kekanak-kanakan, terlalu percaya diri dan menyebalkan. Lalu? Mereka ingin Afara menjadi apa? Ini hidup Afara bukan mereka.
"Keluar kak, Afara lagi nggak mau bertengkar."
Ayara menghela napas. "Jangan pernah menyesal karena kelakukan kamu sendiri."
Afara membalikkan badan, membelakangi kakaknya. "Aku tidak peduli dan tidak ingin peduli."
Suara langkah kaki Ayana menjadi pertanda jika dirinya sekarang tinggal sendiri. Air mata lagi-lagi meluncur dengan bebas.
Afara memang cengeng. Hanya karena masalah ini dia harus membuang-buang air mata.
Tak hanya cengeng, Afara juga labil. Dia ingin menemui Zivian dan mendengarkan penjelasannya. Namun, dia tidak ingin jika penjelasan Zivian sesuai dengan apa yang logikanya pikirkan.
Afara membenci situasi seperti ini. Afara memilih melupakan semuanya. Benar, Afara pasti bisa.
Afara punya prinsip. Jika dia berlari menjauh, dia tidak akan pernah berbalik kebelakang walau hanya sekali.
Dia sudah dalam tahap melupakan, dia tidak mungkin kembali menoleh hanya untuk melihat wajah Zivian karena jika itu terjadi, dia akan berhenti berlari dan kembali berbalik kebelakang.
...
Heyyoooww!
Tinggalkan jejak ya. 🐣#mekarbatch2 #mekar2021 #mekar #menuliskarya #20hari #rpli #rumahpenaliterasiindonesia
KAMU SEDANG MEMBACA
Cahaya Bulan April [Selesai]
Romansa• Third Literary Works • *** Zivian menghela napas. "Kamu salah paham. Saya dan Ara sudah tidak mempunyai hubungan apa-apa lagi. Kamu lupa? Ara sudah menikah." Afara mengangguk. "Aku ingat, tetapi tidak ada yang mustahil." "Kamu benar, tidak ada yan...