"Segala sesuatu itu tergantung pada niat."
—Vito—
...
Rutinitas pagi di keluarga Daniel hari ini sedikit sangat terasa berbeda. Terbiasa hidup oleh keramaian Sean dengan segala kepolosan dan ketidaktahuannya, sekarang kedua hal itu hilang dan berganti pada kesunyian.
Tidak ada yang memulai pembicaraan. Ketiga human dengan jenis sifat yang sama-sama penikmat kedamaian memang begitu. Jika tidak ada yang mengawali, maka sudahlah. Jika tidak ada hal yang perlu diucapkan maka diam akan menjadi pilihan terbaik.
Mira maupun Daniel tidak peduli. Keduanya tampak tenang dan damai dalam resepsi makannya. Berbeda dengan Ega yang sedikit merasa canggung. Akibat daripada pertengkarannya waktu semalam membuatnya merasa menjadi seorang pendosa yang sedang memakai kalung dengan tulisan 'aku salah'.
Acara makan pagi ini sungguhlah mati dari kata dan ucapan hangat. Ega sebenarnya ingin mengatakan sesuatu, tetapi karena Mira dan Daniel tak memberikan wajah yang sedap dipandang menjadikannya mengurungkan niat bertukar kata.
Alhasil, keheningan terus berjalan sampai makanan di piring masing-masing habis.
Untuk terakhiran sebelum mengawali kegiatan sekolahnya, barulah Ega membuka suaranya. "Ma, Yah, aku berangkat," pamitnya. "Dan sepertinya nanti aku telat lagi mau latihan sama menjenguk kakak."
Untuk beberapa menit tidak ada respon, padahal Ega sedang menunggunya dengan jantung yang berisik.
Ega diam-diam kembali merasa sedih. Pada air mukanya yang lesu, dia menatap Mira yang sedang minum minumannya. Lalu setelah gelas itu berjauhan dengan bibir ibunya, barulah rungunya mendengar dua kalimat yang terdengar dingin.
"Gerbang asramanya tutup jam delapan. WA kakak dulu kalau mau ke sana."
Meskipun nadanya terdengar tidak mengenakan, tetapi itu cukup membuat hati Ega lega. Setidaknya ibunya tidak mengabaikannya sama sekali. Untuk itu senyumnya hadir sebagai balasan. Lalu dia mencium pipi Mira sambil mengucapkan terima kasih dengan tulus.
Tanpa menunggu respon dari keduanya, Ega sudah melenggangkan kakinya sambil menggendong tas dan memegang kunci motor. Dengan kondisi hati yang membaik, Ega memulai harinya cukup semangat.
°°°
Seorang guru sedang menerangkan mata pelajarannya dengan membosankan, tidak banyak bergerak, mengeluarkan suara yang lambat, dan wajahnya yang terlihat malas.
Sudah dari 30 menit mata pelajaran IPS berlangsung dan guru dengan kepala botak di tengah-tengah ini—Pak Abim—hanya berjalan satu kali. Ketika masuk saja.
Ega mendengarkan dengan wajah yang suntuk. Teman sebangkunya sudah tertidur dimulai dari lima menit yang lalu. Matanya yang melihat Koko tertidur dengan lelap membuat setan mendekatinya juga.
Dia menguap lebar. Ketika mulutnya kembali tertutup, ujung matanya melihat Brian juga menguap. Bisa dipastikan Brian pun sedang menahan kantuknya.
Kelopak mata Ega mulai berkedip dengan lambat. Selain itu, dia juga merasakan lengket di korneanya. Setiap kali kedipan terjadi matanya akan dengan sangat berat terbuka kembali.
Di saat seperti ini, tidak ada yang bisa menolongnya dari serangan kantuk yang mulai keterlaluan. Dia sesekali terkantuk dan merasa terkejut karena kepalanya yang terjun dengan cepat. Untungnya tidak membentur meja.
Ega mendumel merasakan kesengsaraan ini. Dia ingin tertidur tetapi tidak bisa. Dia tidak terbiasa untuk tidur di kelas, jadi bawaannya merasa takut akan terkena masalah.
KAMU SEDANG MEMBACA
MY DISLEKSIA BROTHER | Brothersip Project✓
Ficção AdolescenteWelcome to my universe 🔰 "It looks simple, but it is more deep and complicated inside." -Alzena Ainsley, the author of wonderful story. °°° Ega Asherxen itu laki-laki yang cukup baik. Baik dalam ketampanan dan dalam kepintaran. Tapi kurang baiknya...