Chapter 16. Tragedi 8 Juli

69 11 1
                                    

Wawancara tertutup dilakukan pada pukul 8 pagi. Karena Vira tidur dini hari, ia terpaksa melewatkan waktu sarapan. Bersyukur ia mendapat giliran terakhir sehingga sempat membawa sepiring kecil roti dan buah. Ia menyantapnya dengan santai di depan ruang aula.

"Sampai tidak sempat sarapan, hmm..," Kiki menegurnya. Pria itu datang bersama Yuni yang membawa folder berwarna hijau berisi berkas-berkas pekerjaan. Ia duduk di samping Vira dan celingak-celinguk mencari seseorang. "Hmm.., mana Johan?"

"Di ruang hall, Mas. Tadi sudah ke sini, tapi karena belum giliran kami, jadi ia ke sana dulu." Vira menyodorkan piring berisi roti ke arah Kiki. "Makan, Mas," tawarnya.

Kiki menggeleng. Ia menyentuh hidung. Tarikan napasnya terdengar keras seiring dengan lendir yang seolah menyangkut di sana. "Sinusku belum sembuh. Semua aroma tercium busuk. Aku juga hanya bisa merasakan pahit hari ini. Kemarin juga tidak merasakan apa-apa."

"Mas Kiki bahkan sampai memeras jeruk nipis yang diambil dari atas ikan goreng kemarin, Ges. Dan, kau tahu, matanya tidak menyipit sedikitpun saat meneteskan air jeruk itu ke mulutnya." Yuni melebarkan matanya dengan jari―menunjukkan ekspresi Kiki saat memakan jeruk. "Sinusnya parah banget."

Vira tertawa. Kedekatan bos dan karyawannya ini layaknya teman sepantar. Vira kagum akan keakraban di perusahaan milik Kiki tersebut. "Harusnya pakai masker, Mas."

"Tadinya mau pakai masker, tapi tertinggal. Kamarku cukup jauh dari sini. Khawatirnya saat aku mengambil masker, malah giliranku dipanggil."

Yuni menepuk pundak bosnya. "Tidak apa, Bos. Biar aku yang ambilkan."

Raut wajah Kiki berubah. Sekalipun hanya sedetik, raut wajah terganggu tergambar dari sana, seolah Kiki sangat tidak ingin kamarnya dimasuki. "Tidak perlu, Yun. Aku juga sudah lebih baik, kok. Sinus tidak menular, tenang saja."

Vira melihat semuanya dengan jelas.

Pintu aula terbuka. Ketiga orang ini melihat Reza keluar lebih dulu. Di belakangnya, terlihat susunan kursi yang rapi. Ada meja di tengah ruangan dekat podium, pertanda dari sanalah Reza berada. Tidak lama, Nordan keluar dari sisi kiri aula. Ia melambai dan tersenyum pada Vira dan Yuni yang sepantar dengannya.

Sekalipun terlihat berteman, aura persaingan terpancar jelas dari Nordan dan Yuni. Berbeda dengan Vira yang termenung dengan mulut penuh kunyahan roti dan piring di tangan.

"Jangan pasang ekspresi begitu, Gesi. Bisa-bisa Leo menerkammu layaknya singa."

Piring diletakkan di kursi sebelahnya. Vira mendengus sembari meneguk jus jeruk agar tidak segera tersedak. Sambil minum, ia menunjukkan kepalan tangan pada Yuni dan Kiki yang masuk ke ruangan untuk diwawancara lebih lanjut. Ia segera mengambil ponsel dan mengabarkan pada bosnya bahwa giliran kedua sudah masuk ruangan.

"Pertanyaannya tidak susah, Ges." Nordan memberi tahu tanpa ditanya lebih dulu. Ia menyuil sedikit roti dari piring gadis di sampingnya tanpa minta izin dahulu. "Berikan aku semua rotinya dan aku akan memberitahukan semua kisi-kisi pertanyaannya."

Sebenarnya itu hanya gurauan. Nordan tidak menganggap Vira sebagai saingan, melainkan teman. Begitupun Vira yang sejak awal tidak berminat untuk lolos memenangkan tender. Proyek pembangunan industri ini sudah mencurigakan sejak terjadi pembunuhan serta orang-orang yang mulai mabuk layaknya mengonsumsi narkoba.

Nordan tetap mengunyah roti itu dan mengambilnya terus-menerus. "Industri ini, tidak hanya mengolah kelapa sawit menjadi crude palm oil dan barang turunannya. Ia akan menyelipkan sebagian ruangan untuk mengolah 'suatu hal' yang kurasa bukan sesuatu yang baik." Nordan menusuk sepotong semangka dan memasukkannya ke dalam mulut. "Kita hanya staf. Pada akhirnya, semua bergantung kepada bos. Jika bos berkenan mengambil proyek ini sekalipun 'mencurigakan', maka kita hanya bisa melaksanakan."

IN Series 5: CincinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang