Langit di atas masih berwarna biru terang. Aroma kopi yang menguar dari dapur cafe memenuhi seluruh ruangan. Ada suara tawa pelan dari meja dekat kaca berasal dari kumpulan gadis yang terlihat sedang bersantai. Kemudian suara derap sepatu pelayan cafe berantuk dengan lantai berlalu lalang di tengah semua itu.
Hanah melihat arloji Daniel Wellington miliknya. Sudah dua jam berlalu dari waktu janjian. Sam Handoko masih belum muncul. Gadis itu menarik napas lalu menghembuskannya pelan. Ia meraih tali tas selempang hitam miliknya lalu berjalan ke kasir untuk membayar. Setelah itu, dia langsung memesan taksi online melalui aplikasi.
Sudah cukup waktu yang dia habiskan hanya untuk menunggu seorang laki-laki yang tidak menghargai waktu janjian. Walau semula dia berharap bisa bertemu dengan Sam untuk bertukar sapa dan menanyakan kabar karena sudah lama semenjak mereka terakhir bertemu. Dia mengerti maksud baik kakek laki-laki itu dengan menghubunginya langsung. Tetapi jika yang bersangkutan tidak datang, semua itu bukan salahnya.
Tak lama menunggu, sebuah mobil Avanza hitam berjalan ke dekat pintu masuk. Setelah mencocokkan plat nomor dengan aplikasi, Hanah berjalan mendekati mobil itu. Tangan kanannya terulur membuka knop pintu belakang. Usai menutup pintu, sopir langsung menjalankan mobil menuju lokasi sesuai map.
Tanpa sepengetahuan Hanah, sebuah mobil Range Rover hitam baru saja terparkir dan berhenti. Di dalamnya, Sam melepas sabuk pengaman. Sesudah dia masuk ke dalam cafe, kepalanya berputar, mencari sosok gadis itu. Ketika selesai memeriksa seluruh sudut cafe dan tidak menemukan sosok yang dicarinya, laki-laki itu menelepon kakeknya.
"Kek, jalanan macet, aku telat dua jam," ucap Sam. Laki-laki itu terlihat lelah, ia mengusap wajahnya dan menghela napas pelan.
Sang kakek, tentu saja, mengomel tanpa henti. Berulang kali beliau mengkritik Sam karena dia tidak segera berangkat tadi ketika sudah membaca pesan janjian pertemuan dengan Hanah hari ini melalui pesan WhatsApp. Setelah mengomel kurang lebih sepuluh menit, barulah kakeknya menutup sambungan telepon.
Sam menarik napasnya perlahan. Ada perasaan mengganjal yang ia rasakan karena tidak bisa memenuhi janji. Juga, entah mengapa, laki-laki itu merasa agak kecewa karena tidak bertemu Hanah. Sekali lagi, helaan napas terdengar dari Sam. Usai lima menit berlalu, barulah laki-laki itu kembali ke mobilnya lalu melajukan kendaraannya menuju kantor. Moodnya yang buruk semakin bertambah parah ketika sekali lagi harus menghadapi kemacetan jalanan Jakarta.
***
"Han, gimana kemarin?" tanya Nadya penasaran. Gadis berambut pendek dicat pirang sebahu itu membuka bungkus permen karet lalu memasukkan isinya ke dalam mulut.
Gadis berambut panjang di hadapannya hanya tersenyum lalu menggeleng pelan. Mendapat reaksi demikian, sekali lagi Nadya bertanya, "Kok ekspresi lo kelihatan kecewa gitu?" Nadya tersenyum sambil mendorong pelan pundak sahabatnya itu dengan lengannya.
"Siapa yang kecewa?" tanya Hanah.
"Elo," jawab Nadya. "Semua tercetak jelas di wajah lo." Cekikian terdengar dari gadis itu.
Hanah hanya mendengus pelan menanggapi godaan bercanda Nadya. Ia melanjutkan langkahnya sambil menendang-nendang kerikil kecil yang berada di jalan setapak. Bahkan ketika kerikil itu terpantul keluar jalur dan mendarat di rerumputan, Hanah tak berhenti menendang-nendang udara kosong di sekitar kakinya. Melihat kebiasaan Hanah, Nadya berdecak pelan lalu merangkul pundak sahabatnya itu.
"Udah, udah, kalau gagal kan masih ada hari esok. Siapa tau pertemuan berikutnya bisa lancar jaya. Nggak usah galau gitulah," ujar Nadya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret Behind Marriage (Completed)
RomanceBagi Sam, Hanah adalah alat yang ia perlukan untuk membuat kakek memilihnya menjadi penerus bisnis keluarga. "Buktikan pada kakek bahwa kamu bisa membentuk sebuah keluarga. Dengan begitu, kakek akan membuat kamu menjadi penerus satu-satunya bisnis k...