Back to School, Back to Reality

10.9K 2K 162
                                    

Sekolah mulai padat ketika kami kembali di semester baru. Sebagai anak kelas XII, kegiatan belajar yang dimulai jam 7 pagi dan selesai jam 3 sore, kini harus ditambah pemantapan, try out, latihan soal per kelas... Untukku, ada tambahan akuntansi dan matematika dasar karena...aku bego sih, yaudalah ya. Ngaku aja ini mah. Nilaiku termasuk paling zonk di kelas, yang isinya anak-anak bandel tukang dispensasi. Kalau ada istilah kepala naga, nah ini aku ekornya ekor deh.

Pokoknya kalau udah ada angkanya, aku skip-nya lama. Untungnya, Ambu sama Ayah gak pernah gimana-gimana amat soal ini, mereka yang penting aku naik kelas aja udah bersyukur. Di sisi lain, aku lumayan jago di kelas bahasa dan hapalan. Bedanya bisa jauh banget, Bahasa Indonesia-Inggris, PPKN, Sejarah dan Geografi selalu 9, dan semua yang berhubungan sama angka-angkaan bahkan pernah di 3. Di raport.

Karena di UN ada matematika dasar, wali kelasku desperate dan memintaku tambahan matematika sama guru PPL. Orangnya baik sih, sabar, tapi dia lama-lama suka izin trus nangis frustasi kalau lagi ngajarin aku.

Aku cerita sama Ambu, tapi dia kemudian cuma bilang, "Ya gapapalah, kamu kan perlu buat lulus UAN doang."
Justru. Itu. UAN gagal, ya aku gak bisa SPMB.
Aku sebelumnya sans. Tapi liat calon guru yang konon udah belajar soal psikologi pendidikan dan cara terinovatif ngajar hopeless, jadinya ngerasa helpless.

Aku mulai coba belajar sendiri tapi malah makin pusing. Aku kurang-kurangin main, beneran cuma sekolah, tambahan dan belajar sendiri di rumah, kadang sampai tengah malam, dan jadinya justru stress.

Kayak malam ini nih.
Aku mencoba menyelesaikan persamaan sederhana, tapi ternyata di kepalaku gak sesederhana itu.

"Cummmiiiiii, yuhuuuu." Ijas melenggang masuk kamar, "Kata Ambu kamu udahan dulu belajarnya." Ia menyimpan piring di meja. Isinya pisang.

"Belum selesai." Aku mengacak-acak rambutku.

"Heee? Lo ngerjain apaan sih? Bikin roket?" Ia mengintip isi kertas coret-coretku, lalu memekik saat melihat soal di buku lainnya, "CUY. Plis lah. Ini gampang banget!"

Gak membantu kan. Ijas tuh pinter, di akademis maupun olahraga. Belum lagi tinggi dan cakep. Songong jadinya.

"Sana pergi lo. Gue belajar karena gak bisa." Aku mendorongnya menjauh dari mejaku pakai kaki.

"Istirahat dulu laaaah. Lo nanti menopause kebanyakan belajar."
"Anjir, menopause bukan gara-gara kebanyakan belajar kali." Aku tertawa sambil melempar bantalku padanya.
Ijas terkikik.

"Ada Inyo di dapur. Lagi bikin apalah entah ama Ambu."
"Serius?"
"Cuy. Ini malam Minggu yak. Coba lirik gue yang bener, udah cakep nih gue."
Wow. Iya. "Ngapel lo?"
"Enggak. Mau ke Bazaar SMA 5."

Wah. Udah Februari berarti. Biasanya, SMA kami bikin Bazaar deket-deketan sekalian saingan. Tapi kami berhasil dapat waktu lebih pewe di Desember kemarin, pengunjungnya gak terbagi-bagi sama Bazaar SMA lain.

"Siapa?"
"Maliq & D'Essentials."

Wow. Cool.
Melihatku bengong, Ijas menyipitkan mata, "Mau ikut lo?"
"Mmmmmm... Tanya Inyo dulu."

Aku keluar kamar, dan menemukan Ambu sama Inyo sedang ngobrol di dapur. Lagi pada bikin air. Keluargaku tuh tim termos, bukan dispenser, jadi kalau mau bikin teh, ya harus menjerang air.

"Inyooo..." Aku merangkul Inyo dan Ambu.
"Hai, Nda." Inyo tersenyum lebar sambil mengacak rambutku.

"Ijas mau pergi liat Bazaar Lima..."
"Kamu mau ikut? Aku pikir kamu mau ditemenin belajar."

Aku mikir-mikir. Hmm. Maliq & D'Essentials jauh lebih menyenangkan daripada gradien. Tapi diajarin Inyo di kamar lebih menarik dibandingkan ketempelan orang-orang banyak dalam gelap dengan suara ribut.

Tujuh Belas TahunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang