PART 18 : Usaha Untuk Berdamai

25 16 4
                                    

-

Egi menatap seluruh sudut kamar kosnya yang kini terlihat lebih lenggang dan hanya tersisa beberapa barang seperti tempat tidur, sofa kecil dan juga lemari yang memang milik kosan gadis tersebut.

Sedangkan barang miliknya sudah ia kemas dalam dus-dus kecil serta dua buah koper miliknya. Setelah skripsinya rampung  dan tinggal menunggu jadwal sidang, Egi memutuskan untuk pulang pergi dari rumah saja, sebenarnya ini bukan murni keinginannya, melainkan keinginan kedua orang tuanya, mereka ingin Egi lebih fokus dari sebelumnya.

Mendengar alasan itu Egi hanya bisa memutar mata jengah, ada juga fokus Egi selalu pecah kalau berada di rumah.

Setelah selesai memasukkan semua benda miliknya ke dalam koper, Egi memilih untuk merebahkan tubuhnya di sofa yang menjadi saksi bisu perjuangannya dalam mengejar mimpi dan juga merangkai mimpi bersama Rino.

Ah, bicara soal Rino membuat Egi kembali diliputi rasa bersalah. Ia masih enggan bertemu dengan lelaki itu. Jujur, Egi pun tak mengerti dengan dirinya sendiri. Ia tak mengerti kenapa ia memilih untuk menjauh dari lelaki pecinta kucing tersebut. Ia hanya terus meyakinkan diri bahwa semua yang ia lakukan saat ini adalah jalan yang benar walaupun terkesan egois.

Ia hanya ingin membuat Rino terbiasa tanpa dirinya, begitu pun sebaliknya. Karena tampaknya jalan mereka sudah di tentukan sedari awal.

Egi menghela napas dan melirik kearah pigura kecil yang belum sempat ia masukkan ke dalam dus. Pigura yang berisi foto dirinya dan juga Rino ketika awal masuk kuliah.

Foto dimana dirinya masih bisa tertawa bebas ketika bersama Rino, masih bisa masa bodoh dengan segala opini manusia.

Egi memilih menatap langit-langit kamarnya ketika bayangan akan masa lalu dimana ia dan juga Rino duduk di lantai dan bersandar di sofa yang kini tengah ia duduki sambil berceloteh tentang masa depan dengan begitu riangnya, berencana ini itu dengan semangat empat lima.

"Entar kalo kita nikah gak usah ribet-ribet ya, Gi? Sederhana aja, gimana?"

"Kuliah aja belom mulai, No. Gak usah mabok deh."

"Harus direncanain dari sekarang. Lagian kalo heboh banget di nikahan doang, ada juga uang abis disitu terus entar kita tinggalnya dimana?"

"Iya, No. Kuliah aja dulu yang bener ya? Kita masih maba loh ya, abis ospek juga baru dua jam yang lalu."

Egi terkekeh kecil dengan tatapan nanar ketika kenangan masa lalu itu terputar bak roll film di kepalanya.

"Entar kalo kita udah nikah, kamu mau punya anak berapa?"

"Apasih?! Kuliah juga baru semester dua Rino! Ngomongnya udah jauh banget!"

"Kenapa emang? Kaya kamu gak pernah mikir begitu aja."

"Ya emang gak pernah!"

"Kamu gak mau nikah sama aku?"

"Ya gak gitu!"

"Yaudah berapa?"

"Tiga aja deh, dua cowok satu cewek. Lucu. Hehe."

Manusia itu memang makhluk yang paling sok tahu sejagad raya. Dengan lantang menyuarakan masa depan lalu bergantung pada harapan. Seakan-akan takdir mereka yang tulis. Namun, kembali lagi, ujung cerita hanya Tuhan yang tau.

Dan ketika semua tak sesuai dengan perkiraan dan perencanaan, hal yang selalu dipertanyakan adalah 'kenapa semua ini terjadi, Tuhan?'

Terlalu sibuk berencana sampai lupa bahwa takdir memang sudah terencana.

Garis KesanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang