Lima Puluh Lima

50 13 5
                                    

55.

Satu minggu setelah bertemu dengan Hafi serta Keyva. Mahera sudah tahu siapa seseorang yang menjadi otak semua ini. Seseorang yang dengan beraninya melaporkan Arhan. Ia adalah Afat. Dan Mahera tahu itu dari Davindra.

Setelah membujuk serta meberikan pertanyaan yang terkesan menyudutkan. Pada akhirnya Davindra terpojok. Ia dengan terpaksa mengatakan kalau Afat lah dalang dari semua ini.

"Jadi benar Afat?"

"Iya." Davindra mengangguk ragu ia sangat khawatir jika terjadi apa-apa dengan Afat. Atau pun Mahera yang tidak bisa mengendalikan emosinya.

"Mahera. Lo harus janji jangan berbuat aneh-aneh sama Afat!"

"Dia teman kita, inget!" cetus Davindra mengingatkan.

Mahera tersenyum simpul ia memandang wajah Davindra yang saat itu terlihat ketakutan. Kedua tangan Mahera bertopang di bahu Davindra.

"Lo tenang aja. Gua gak bakal ngapa-ngapain Afat kok."

"Gua juga masih inget dia teman gua."

"Tapi gua cuma pengen minta sama dia buat bebasin Arhan," jawab Mahera. Mahera menurunkan kedua tangannya dari bahu Davindra. Dan beralih melipat di depan dada.

"Kalo gua boleh tau. Kenapa lo pengen Arhan bebas?"

"Arhan kan yang udah buat lo masuk rumah sakit plus buat lo koma."

Mahera membalikkan tubuh. Memang benar yang dikatakan oleh Davindra. Mahera sudah melihat sendiri rekaman cctv yang menayangkan bagaimana dirinya bisa masuk ke dalam rumah sakit. Dan di dalam video itu terdapat Arhan.

Mahera berjalan mendekati Davindra. Ia melihat wajah Davindra yang penuh kebingungan.

"Dav, alasan kenapa gua pengen Arhan bebas ya karena—"

"Karena gua gak mau ada dendam di antara kita. Gua pengen teman-teman gua dan teman-teman Denar saling baikan. Karena beberapa bulan ke depan gua udah gak di Jakarta."

Davindra membelalak kan mata ia terlihat sangat terkejut. "Lo mau pindah?!" tanya Davindra memastikan.

Mahera mengangguk mengiyakan. Ia menarik napas sejenak, lalu memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana.

"Pindah ke mana?" ucap Davindra.

Mahera menoleh ke arah Davindra kemudian terkekeh lantaran melihat bagaimana wajah Davindra.

"Jogja."

"Ha? Lo yakin mau pindah ke Jogja?" Tiba-tiba sebuah suara mengintrupsi. Membuat Mahera dan Davindra menoleh ke sumber suara.

"Lo beneran mau pindah ke Jogja, Maher?" tanya Sambara dengan nada intonasi tidak biasa. Berusaha memastikan bahwa ia tidak salah mendengar.

"Ya. Gua mau pindah Ke Jogja."

"Ini bukan kemauan gua, tapi mama. Keputusan mama," jelas Mahera.

Suasana di gedung belakang sekolah tempat biasa geng Mahera berkumpul mendadak hening sekaligus kaku. Usai mereka mendengar jika Mahera ingin pindah.

"Lo yakin?" ulang Renu. Ia berjalan menghampiri Mahera dan menepuk sebelah bahu Mahera. Renu menatap wajah Mahera heran.

"Ya. Gua yakin."

"Yah, Maher. Kalo gak ada lo, terus siapa yang jadi ketua geng The Alpana? Siapa yang ngelindungi kita dari Betelgeuse?" pungkas Rizky yang agak sedikit lebay.

"Lebay lo," sambar Sambara.

"Mama? Tante Rini, maksud lo Maher?" tanya Agasa yang kebingungan. Sebab ia tidak terlalu banyak tahu tentang Mahera. Karena ia termasuk anak baru di geng The Alpana.

Lukisan Luka Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang