Happy Reading-!!
******
Malam itu, tidak ada bulan menyinari bumi. Tidak ada bintang berhamburan di langit. Gelap, di sepanjang jalan tidak ada lampu yang menerangi. Rara berjalan menuju danau yang pernah ia kunjungi. Gadis itu memilih tinggal sementara di daerah sini. Untungnya, Rara masih punya uang tabungan untuk menginap di salah satu rumah warga.
Rara tinggal di rumah Bu Ana, wanita paruh baya itu dengan senang hati mengizinkan Rara tinggal di sini. Bu Ana tinggal di sini sendirian karena tidak mempunyai anak, sedangkan suaminya sudah meninggal dunia.
"Nak, ini sudah malam. Segeralah masuk, angin malam tidak baik buat kesehatan," ujar Bu Ana.
Rara tersenyum tipis kemudian mengangguk, ia menyusul Bu Ana masuk ke dalam rumah.
Di dalam kamar, Rara masih memikirkan hal tadi siang. Dalam hati kecilnya, Rara yakin sekali bukan sepenuhnya karena Melati. Tapi karena apa? Kenapa masalahnya begitu rumit?
Rara baru ingat, jika kartu memorinya ada di Melati. Demi apapun, ini semua di luar perkiraannya. Rara ingin benci Melati, tapi hati kecilnya menolak untuk itu. Kenapa dirinya sangat susah untuk membenci gadis itu?
Padahal, kesalahan-kesalahan Melati yang di sengaja ataupun tidak di sengaja itu membuat goresan luka di hati Rara. Mulai dari mengkhianatinya dan memfitnahnya. Semoga saja semuanya cepat terbongkar.
Keesokan harinya, Rara datang ke rumah Zoya yang di depannya terdapat bendera kuning yang berkibar. Padahal, Rara masih berharap jika Zoya masih bisa di selamatkan saat di bawa ke rumah sakit kemarin, tapi nyatanya tidak.
Baru mau melangkahkan kakinya masuk ke dalam, Rara di hadang oleh Ines dan Amel.
"Mau ngapain lo?" tanya Amel sinis.
"Gak punya malu lo dateng kesini? Harusnya lo itu gak usah dateng! Pembawa sial tau nggak!" Ines mendorong bahu Rara sedikit kuat.
"Gue enggak ada urusan sama lo berdua, gue mau ikut pemakaman temen gue. Apa gue salah?" tanya Rara.
Amel berdecih,"Heh, lo sadar gak sih? Yang bikin Zoya meninggal itu lo! Dan lo masih mau ngelayat? Gak punya otak lo? Lo enggak kasian apa sama nyokapnya Zoya?" cercanya.
"Udah gue bilang, bukan gue pelakunya! Kenapa sih kalian enggak percaya sama gue?" tanya Rara lirih.
"Halah! Gak usah ngeles lo! Mendingan lo pergi dari sini!" usir Ines kepada Rara.
"Plis, izinin gue buat nganter Zoya ke peristirahatan terakhir?" pinta Rara memelas.
"Gak usah sok baik, mending lo pergi Ra!" usir Ines, lagi.
"Gue enggak salah, jadi pliss izinin gue." Rara menitikkan airmatanya.
Tiba-tiba, ibu Zoya menghampiri Rara. Wanita paruh baya itu menatap Rara intens membuat jantung Rara berdegub kencang.
"Kamu Rara'kan?" tanya Mitha--Ibu Zoya.
Rara mengangguk lemah,"Iya Tante,"
"Tante tau, kamu bukan pelaku pembunuhan Zoya. Sebelum Zoya meninggal, Zoya selalu cerita banyak ke saya tentang kamu. Jadi, Tante yakin kamu bukan pelakunya," hal itu membuat Rara sedikit lega. Rara bersyukur masih ada orang yang mempercayainya.
Ines dan Amel melotot tak terima. Mereka berdua menatap Ibu Zoya tak percaya. Yang di pertanyakan dalam hati, kenapa Ibu Zoya begitu yakin bukan Rara pelakunya?
"Makasih Tante udah percaya sama saya," ujar Rara
Dara datang bersama Melati menghampiri mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aurora [END/BELUM REVISI]
Novela Juvenil[PART DI PRIVAT SECARA ACAK, FOLLOW TERLEBIH DAHULU] -Tentang aku, dia dan yang tak terlihat- Ini kisah Aurora atau yang sering di panggil Rara, gadis berparas cantik dengan kemampuan indigo yang ia miliki. Ia termasuk siswi kebanggaan di sekolahan...