Film romantis yang sedang tayang di TV pagi ini menjadi pilihan Shinhye. Dengan mulut penuh makanan, kedua matanya terus meneteskan air mata. Terlalu hanyut dalam kisahnya.
"Kasihan sekali gadis itu... " dalam hati ia berkomentar. Tanpa menghambat acara sarapan keduanya.
Saat ini cerita itu sedang ada di titik klimaksnya. Dimana Sang pemeran utama wanita sudah mulai mendapatkan keadilan atas kehidupan tak enaknya selama ini.
"Apa kau sedang menangis?"
Shinhye melirik sebentar sebelum memasukkan suapan terakhir ke dalam mulut dan kembali fokus pada filmnya. "Hhmm." Mulutnya hanya bergumam. Agak malas.
"Sejak kapan kau suka film romantis seperti itu? Bukankah lebih baik kau menyelesaikan petualanganmu dengan si penjahat buronan?"
"Hhmm... " Lagi-lagi bergumam. Setelah menegak habis air putih yang baru saja di sodorkan, lalu meletakkan gelas panjang itu di atas meja dengan sedikit kasar. "Apa barisan kado dari pengagummu itu sudah selesai kau buka?" Tanyanya sedikit kesal.
"Heh?" Yonghwa terkekeh pelan. Menyambar remote TV yang baru saja kekasihnya ambil dari atas meja. "Lebih baik nonton bola." Ucapnya acuh. Tak berniat menjawab pertanyaan yang hanya akan menjadi awal pertengkaran mereka.
"Yong!" Shinhye melotot kesal saat kedua kaki besar itu sudah bertumpu manis di pahanya. Bergerak-gerak pelan, mengisyaratkan sesuatu yang harus ia lakukan.
Yonghwa tertawa. Acuh. Dan mulai memejamkan mata saat merasakan pijatan lembut di kakinya. Sedikit rileks. "Kau baru saja makan, kan? Tenagamu pasti berlebih."
"Apa kita akan menikah?"
Baru saja kesadaran Yonghwa akan tertarik ke dalam alam mimpi, tapi sekarang kedua matanya terbuka lebar. Bahkan ia buru-buru duduk. Bersila. Melihat dengan tatapan tidak percaya. Kekasihnya menangis. Lagi.
"Apa memang sangat menyakitkan kalau cinta itu tidak bisa memiliki? Kenapa sesak sekali rasanya... "
"Apa?!"
Yonghwa hampir saja mengeluarkan kata-kata ajaibnya kalau ia tidak segera sadar, kalau ternyata Shinhye sedang fokus pada layar besar di depan sana. Dengan kedua mata yang sudah sangat merah. Dan pipinya basah.
"Kapan dia mengganti lagi acara TV itu?"
Pertanyaan yang baru saja Shinhye lontarkan adalah satu dari sekian banyak pertanyaan sakral, yang sangat jarang, bahkan akan mereka hindari. Sejak awal mereka berkomitmen, sampai dua tahun mereka menjalin hubungan.
Ia menggeleng tak percaya setelah memastikan. Mencoba bersabar, ikut memperhatikan layar TV yang sedang menampilkan adegan penuh air mata.
Tangannya terulur, meletakkan kotak tissue dari atas meja, di atas kedua tangan Shinhye yang sudah terulur manis. Perlahan ia merebahkan punggung pada sandaran sofa. Melihat langit-langit ruangan, lalu kedua sudut bibirnya terangkat tipis. Merasa geli dengan hal yang baru saja terjadi. "Sejak kapan Shinhye suka dengan roman picisan?" Berkali-kali hatinya bertanya.
Masih terekam nyata dalam ingatannya. Saat pertama kali ia bertemu dengan kekasihnya ini. Saat itu Shinhye sedang memberi pelajaran pada sepuluh orang preman di ujung jalan. Dengan penampilannya yang sangat berantakan, tapi wajahnya yang manis tetap dapat terlihat saat rambutnya yang terkuncir asal itu bergerak-gerak lincah mengikuti gerakan tubuh.
Cukup lama adegan menegangkan itu berlangsung. Dan seorang gadis yang meringkuk ketakutan di salah satu sudutnya tak henti menangis, mendekap tas sekolahnya. Berharap seseorang datang, memberi pertolongan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah Cinta
RomanceWarning! Cerita ini hanya fiktif belaka. Tanpa ada unsur negative apapun. Just for fun! So, enjoy this story. And, happy reading. 😉