Bab 5 - Penipuan Terselubung

76 15 5
                                    

Semakin mendekati pembukaan dan peresmian kantor cabang, sontak membuat beban pekerjaan yang Pampam emban semakin banyak dan cukup menyita waktu, energi serta pikiran. Dia yang menjabat sebagai kepala technical, bertanggung jawab penuh atas keberhasilan program komputer baru yang akan dirilis perusahaan bersama dengan peresmian kantor cabang tersebut.

Demi mengejar target, Pampam harus ikhlas mengurangi jam istirahat termasuk masih harus lembur saat sudah sampai di rumah. Kali ini pun Pampam harus makan siang sambil menatap beberapa layar monitor laptop yang terbuka secara bersamaan.

"Pam, mama dan istri elo pergi ke salah satu pengobatan alternatif yang ada di Bogor," ujar seseorang di sambungan telepon.

"Pengobatan apa, siapa yang sakit?" tanya Pampam tak mengerti.

"Berdasarkan informasi yang berhasil gue kumpulin, tempat Aki Salim ini spesialis terapi untuk para wanita yang ingin mendapatkan momongan," jawab sang penelepon singkat.

"Aki Salim," gumam Pampam masih di sambungan telepon.

"Iya, kalau elo ada waktu gue bisa antar,"

"Gue selesaikan dulu kerjaan coding, nanggung bentar lagi kelar. Sore ini kita ketemu di tempat biasa terus jangan lupa elo antar ke Bogor ya!" pinta Pampam dengan suara sedikit bergetar menahan rasa penasaran dan ingin tahu.

"Siap, Bos! Apapun perintah Elo, selama upahnya cocok pasti gue kerjakan!" timpal sang penelepon sambil menekan tombol merah pada layar gawainya.

Waktu yang bergulir terasa sangat lambat bagi Pampam, konsentrasinya jelas terpecah begitu mendengar informasi yang disampaikan oleh sahabatnya yang diminta untuk membuntuti kemana pun Icha pergi. Beberapa kali perintah yang diketikkan pada layar monitor, selalu gagal kala aplikasi yang sedang dibuat coba dijalankan.

"Sial!" umpat Pampam kesal sambil menjambak rambutnya.

Demi mengurangi stress yang begitu saja menyelinap, mengambil alih hampir seluruh logikanya Pampam memutuskan untuk mencuci muka dan mencari udara segar di roof top kantor. Matahari yang mulai bergeser ke arah barat, tak begitu garang memancarkan sinarnya. Begitu pun dengan angin sore yang berhembus, mampu memainkan anak rambut Pampam.

"Lima belas menit lagi kita ketemu, gue segera keluar dari kantor!" suara Pampam di telepon.

Tak ingin membuang waktu lagi, Pampam bergegas turun menuju tempat parkir mobilnya. Percuma juga dipaksakan kerja, jika pikirannya sudah tak ada lagi di tempat. Berbagai prasangka hilir mudik, silih berganti menghinggapi otaknya.

"Bagaimana bisa Icha yang sangat dipercayai itu, melakukan satu tindakan tak masuk akal tanpa sepengetahuannya sebagai suami!" berkali-kali Pampam melampiaskan kekesalannya dengan memukul-mukul kemudi.

Demi keselamatan, sang sahabat menawarkan diri untuk ambil alih kemudi kala keduanya akan menuju Bogor. Tak mungkin juga Pampam akan bisa konsentrasi menyopir, kala hati dan pikirannya masih diselimuti kemarahan, lebih tepatnya kekecewaan karena orang-orang yang dicintai sampai hati tega tak jujur padanya.

Setelah terjebak macet di hampir setiap jalan yang dilalui, Pampam dan sahabatnya itu baru sampai di tempat Aki Salim setelah azan Isya berkumandang. Ada hal yang menarik, meski terbilang sudah malam, beberapa mobil masih terparkir di halaman rumah Aki Salim. Udara yang berhembus dingin menyeruak dari kaca mobil yang dibiarkan terbuka. Rasa penasaran dalam hati Pampam semakin membuncah kala telinganya menangkap samar gelak tawa dari beberapa penghuni rumah.

"Bro kita parkir agak jauh saja, biar tidak membuat mereka curiga!" perintah Pampam yang tak dibantah oleh sang sahabat.

Setelah memastikan mobil yang mereka bawa tak mencolok perhatian warga sekitar, Pampam mengajak sang sahabat untuk mengendap-endap mendekati rumah Aki Salim. Hal ini harus dilakukan, karena bisa jadi keselamatan Icha sedang terancam tanpa pernah disadarinya.

Merindu Amanah-Mu (TELAH TERBIT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang