Prolog : Ember

8 1 0
                                    



























Berawal dari kata "lelah" berujung bingung mencari tempat mencurahkan diksi setara 'mengeluh'.

Sebuah ember yang hanya tahu digunakan saja, maka ia akan berkerak. Sangat berkerak.

Coba ingat lagi bapak kost yang sebentar-sebentar mengomentari tentang ember di toilet luar. Katanya: "kenapa, kost putri embernya hitam seperti ini?"

Padahal setahu saya, itu baru sebulan yang lalu sewaktu awal aku tiba disana kondisi embernya sama.

Berlumut dibagian bawahnya.

Tapi karena merasa aku yang akan memakai kembali ember tersebut, maka aku sadar diri, 'kemarin aku juga memakai ember itu' ucapku dalam hati. 'Berarti semestinya aku ikut bertanggung jawab, ya?'

Maka kuputuskan untuk hidup lebih bersih. Toh juga itu demi kebaikanku sendiri. Meskipun. Aku tahu itu melelahkan.

Baru kusadari saat aku pulang kerumah, sebuah ember teronggok di pojok kamar mandiku. Dan aku sudah lupa kapan bapakku membelinya. Sejak saat itu, ember itu hanya tahu hal untuk menyimpan air di dalamnya. Tanpa tahu di bersihkan. Mungkin dari hal itu pula aku kurang peka terhadap ember di toilet kost. Aku terbiasa acuh.

Lama aku berpikir untuk malas-malasan mencucinya. Sebelumnya aku telah berhasil mencuci gayung. Sangat melelahkan memang, tapi setelah melihat kebersihan yang dihasilkan, membuatku merasa tenteram dan puas meski harus berpegal-pegal ria. Mungkin itu balasan yang setimpal (?)

Setelah dipikir-pikir, perabotan lama yang menghinggap di rumahku usianya hampir sama denganku. Saat rumah ini dibangun, aku ingat dulu aku masih sangat kecil. Kira-kira 3-5 tahunan. Saat aku TK, aku ingat aku sudah punya rumah yang nyaman untuk sekedar ditempati keluarga kecilku. Jika dihitung-hitung... Oh, tidak! Usianya sudah 15 tahun!

15 tahun dipakai tanpa dibersihkan. Hanya dipakai. Untuk ukuran baju, yang tidak dipakai justru akan keropos. Lalu ember? Hanya tahu dipakai tanpa dibersihkan itu mampu membuat kerak setebal hampir 3 mm. Sebut saja aku jorok. Sebut saja aku malas. Tapi memang di keluargaku tidak ada tradisi cuci ember. Itu pun setelah aku bersosialisasi dengan orang luar (a.k.a dari bapak kost ku).

Omong-omong, akhirnya kuputuskan untuk membersihkannya. Awalnya aku bersama-sama menghabiskan waktu dengan adikku. Ya, adikku yang itu. Si ngeselin yang kerjaannya aku usilin. Haha. Mungkin aku bukan tipe kakak romantis yang baik kepada adiknya. Justru aku lebih suka membuat kenangan dengan membuatnya marah. Itu lebih menyenangkan. Sungguh.

Semua berjalan menyenangkan pada awalnya. Lalu kemudian dia kelelahan. 'Tolong, aku tidak ingin mendengarnya. Wahai adik, kumohon tetap tinggal dan temani aku lagi. Nanti aku capai sendirian dong'.

Tapi hal itu hanya selesai di batin kecilku saja. Aku berperang dengan diriku sendiri waktu itu. 'Kumohon sadarlah wahai diri, adikmu masih kecil. Wajar saja dia bosan dengan kegiatan yang entah akan berakhir kapan dan melelahkan ini (a.k.a mencuci kerak ember).'

Yah, kira-kira begitulah bunyi suara-suara yang berkecamuk dalam diriku dalam rangka merespon permintaan adikku yang hendak beranjak mandi dan izin meninggalkan pekerjaan itu untukku sendiri. Dan akhirnya yang kukatakan adalah: "iya, silakan" dan dia seperti tidak yakin sehingga membuatnya ingin bertanya lagi padaku: "yakin?" Lalu berakhirlah debat dengan kata yang ku ucapkan bahwa: "yakin lah, kapan aku berbohong pada adik kecil seperti kamu? Ga ada gunanya, lagi. Iya, kan?"

Sejak pagi hingga siang itu dia melenggang pergi membawa handuknya menuju kamar mandi dan percakapan pun berganti suara semacam: "sikisikisikisik" khas suara sikat berbunyi keras saat si empu pemegangnya merasa ingin meluapkan emosi dimana aku merasa jengkel namun aku tidak tahu harus melampiaskannya pada apa. Aku akan kelelahan sendiri! Hah, salahku yang tidak bisa menolak permintaan orang. Bukannya lemas aku malah makin cepat dalam menggosoknya yang berakibat aku makin cepat lelah. Memang sangat berkerak.

Awalnya sangat mengasyikkan ditemani salon milikku sendiri yang di hadiahi lagu dangdut khas kendang dan terkadang diselingi instrumen gamelan (?) Haha, iya. Aku selalu suka playlist sepupu pertamaku. Kita satu frekuensi dan bersama adikku, lagu dangdut makin nyaman untuk digunakan bergoyang bersama.

Namun sayang, aku kini sendirian. Berakhir memutar lagu EXO dengan hapeku sendiri dan menjerit-jerit sendiri dengan kesibukanku menggosok ember. Itu karena salonku kehabisan baterai dan sepupuku sudah malas untuk memutar lagu lagi. Yah, disinilah aku sendiri. Meratapi nasibku sendiri. Haha. Kelelahan sendiri. Aku menjerit dan adikku panik langsung bertanya kepadaku: "kenapa, Kak?" Oh Tuhan, aku berharap bukan dia yang menjawab, tapi orang lain yang bisa dimintai bantuan untuk membantuku menggosok ember berkerak ini. Dan agar dia cepat pergi, "oh, gapapa, aku cuma kelelahan" jawabku. Dia hanya melenggang dengan teman-teman krucilnya seraya berkata: "capek itu istirahat!"

Dalam hati aku ingin istirahat, tapi aku coba menguatkan iman dan taqwa: 'jalani saja. Pelan-pelan. Tidak usah dilihat. Nanti juga sedikit demi sedikit akan selesai.'

Sambil komat-kamit merintih dan meruntuh akhirnya aku lihat lagi adikku di rumah. Kusuruh dia beli seblak untuk self reward ku menyelesaikan misi. Catat, hampir selesai dan perlu dihadiahi. Dan aku lapar. Ya, sesuai dugaan. Dia mau dan aku senang.

Matahari mulai ganas menyerang ujung rambutku, eh salah. Kepala maksudku. Dan itu artinya hari sudah siang. Hanya tinggal menunggu bedug dan kau akan tahu bahwa jam menunjukkan pukul 12. Dan akhirnya pekerjaanku selesai. Seblak pun sudah disebelahku. Dan bapakku pulang dari tempat tetangga yang meminta tolong pada bapakku untuk bekerja di rumahnya. Entah diminta membuat tembok atau membetulkan genting. Ah, aku tidak tahu.

Dengan seringainya dia bertanya dengan enteng: "Kak, itu seblak buat Bapak ya?"

Dalam hati: 'TAK BOLEH!'

Namun yang terlontar di mulutku adalah: "hehe, itu punyaku, Bapakku yang tercinta!" Dengan senyuman yang merasa dikalahkan tetapi harus kudapatkan seblak itu. Aku harus memakannya karena sebelumnya aku kelelahan! Kumohon bekerja samalah!

"Tak kira itu tadi seblaknya ngiwi-ngiwi (mengejek) Bapak minta dimakan, hehe. 'Siapa cepat dia dapat!' Gitu tadi kata seblaknya."

Aduh, kepada bapakku yang terhormat, demi seblak! Aku lari menjeput seblak itu dan segera kumakan. Sebagai lauk (?) Ya, karena saat itu sayur di wajan tinggal untuk seporsi makanan. Untungnya bapak masih kebagian lauk untuk makan.

Jadi, antara aku dan kerak ember, ada adik, ada sepupu, ada bapak, dan ada seblak! Hahahahaha. Beserta nasi, ekekek.

Dan quotes of the day is:

"Jalani saja, seperti saat menggosok kerak ember dan air dalam ember makin keruh. Jangan lihat sebanyak apa keraknya maka sedikit-demi sedikit air ditumpahkan sebentar lagi pasti akan selesai. Sabar dan kau akan lihat hasilnya"

Dan, diantara aku dan keluargaku, ada ember yang kian mengeratkan hubunganku dengan mereka dengan cara yang tidak biasa. Mungkin tak aku publikasikan secara lisan: 'semuanya, aku lelah. Ember itu sudah bersih olehku tadi siang. Berterimakasihlah kalian dengan membuatku menjadi raja sehari!'

Wah, aku tidak selicik itu memanfaatkan keadaan. Setidaknya aku dapat melihat keindahan kejernihan air yang biasanya tak dapat aku lihat. Dan suka-duka keluarga ini, canda-tawa dan sedihnya, hanya dirasakan masing-masing tanpa saling mengutarakan tapi saling memahami.

Mari kita cintai keluarga dan ember kita. Eh salah. Kebersihan kita. Hehehehehe

#jagalahkebersihan #cintaikesehatan #cintaikeluarga #kebersihan #keluarga

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 04, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Between UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang