4th Fragment

13 4 0
                                    

"Ada apa di suasana sore ini? Seperti ada yang kurang nyaman."

Rita berhenti sejenak dalam menyiapkan bubur hangat untuk sang nenek. Matanya memandang keluar jendela untuk bertemu senja yang sedang menyinari kota ini. Sayangnya, ada sesuatu yang tidak enak muncul di dalam dada.

Apakah tubuh Rita masih perlu penyesuaian setelah baru saja tiba di masa lalu?

"Tidak. Seharusnya bukan itu," gerutunya sendiri.

Rita menggelengkan kepalanya dan kembali fokus untuk menyiapkan bubur ayam hangat untuk sang nenek. Dengan telaten, ia mempersiapkan dua buah porsi dan menyajikannya di meja makan. Makanan lunak itu masih mengepul panas, sehingga gadis itu perlu meniup porsi bubur untuk nenek beberapa kali.

"Sepertinya masih terlalu panas. Hati-hati, Nek."

"Tidak masalah. Terima kasih Nak Rita."

Daripada memikirkan perasaan yang tidak enak seperti itu, Rita lebih memilih untuk menikmati kebersamaan dengan satu-satunya penghuni rumah ini.

Semoga bukan sesuatu yang buruk.

Di waktu yang sama di lain tempat, Arisa duduk terdiam dengan pandangan yang masih terpaku kepada sosok sang lelaki. Ia masih begitu fokus memerhatikan gerak-gerik tubuh Rio serta menunggu kalimat lain yang akan muncul.

Rio mengingat-ingat kembali alasannya untuk terus melihat hari esok. Untuk terus hidup demi menemui tujuan yang selama ini dicari-carinya.

"Setelah bertahun-tahun dengan kepergianmu tiba-tiba dari sekolah, akhirnya aku bisa menemuimu lagi. Tak tahukah kamu jika dadaku langsung berdebar hebat ketika aku mengenalimu sedang duduk di sini? Kepalaku sekarang... rasanya campur aduk."

Luapan emosi dari Rio cukup menarik bagi Arisa sehingga ia benar-benar memusatkan pikirannya untuk mendengarkan ia dengan baik. Setiap kata-kata yang masuk dan meresap perlahan membuat sebuah benang merah akan suatu kesimpulan dari apa yang benar-benar diinginkan oleh mantan teman sekelasnya itu.

Tetapi ada tanda tanya besar yang muncul di dalam pikiran gadis itu. Arisa benar-benar tidak terbiasa dengan ungkapan perasaan yang langsung ditujukan untuk dirinya seperti itu.

"Perasaan suka ini perasaan yang seperti apa. Lalu, apa yang kau inginkan dariku dengan ungkapan ini?"

Pertanyaan itu sempat membuat bingung sang lelaki. Namun, tidak ada waktu untuk memikirkan mengapa Arisa menanyakan hal seperti itu. Jika ia butuh kejelasan maka Rio harus menjawabnya.

"Maukah kamu menjadi pacarku?" tanya Rio tegas.

Jadi begitu. Dugaanku barusan tepat. Memang akan ke arah sana.

Sekarang, jawaban seperti apa yang harus kuberikan?

"..."

Gadis itu memutar otak dengan cepat. Memproses segala kemungkinan dan informasi yang ia ketahui sampai sekarang mengenai perasaan seorang manusia—perasaan Rio. Ungkapan itu adalah luapan perasaan yang benar-benar serius. Arisa harus mempertimbangkan secara penuh respon yang akan dia berikan.

Perasaanku... belum. Belum bisa.

Sosok bersurai panjang itu berdiri agar ia sejajar dengan Rio yang membatu di tempat. Arisa menatap mata Rio dan membuka bibirnya.

"Bisakah aku minta waktu untuk mempertimbangkannya? Kita baru saja sampai di masa lalu dan aku yakin masih banyak hal yang diurus untuk saat ini."

Rasanya kesadaran Rio tersentil oleh sesuatu mendengar jawaban itu.

Benar juga. Hari ini adalah hari pertama kita berada di masa lalu. Aku terlalu terburu-buru, batin sang lelaki.

"Bisakah?" Arisa mengonfirmasi sekali lagi.

"Bisa. Tentu saja bisa. Aku minta maaf karena mengatakan hal ini di hari pertama kita datang di masa lalu padahal kita sedang mengemban misi kemanusiaan."

Rio salah tingkah. Ia melihat ke arah lain sembari menggaruk belakang kepalanya, mencoba untuk menenangkan diri. Ia tidak habis pikir akan sikapnya barusan yang lebih memprioritaskan perasaan pribadinya dibandingkan misi untuk menyelamatkan bumi.

Lelaki itu hanya bisa tertawa canggung di hadapan gadis yang baru saja ia nyatakan ketertarikannya. Arisa tersenyum saja menanggapinya.

Saat matahari sudah hampir tenggelam, mereka berpisah untuk kembali ke rumah masa lalu masing-masing.

Selama perjalanan pulang, wajah Rio memanas dan tak henti-hentinya ia mengusap seluruh permukaan rupanya. Ia tidak habis pikir dengan sikapnya barusan yang langsung menyatakan cinta kepada seseorang yang baru saja ia temui beberapa jam yang lalu.

Rio mengingat lagi, sejak kapan ia mulai jatuh cinta kepada sesosok gadis bersurai panjang yang berwarna kecoklatan itu?

Momen itu adalah momen yang tak mungkin ia lupakan.

"Sudah, jangan menangis lagi. Pakai alat pernafasannya dengan benar. Aku butuh kamu untuk tetap hidup."

Kalimat itu masih terekam nyata di salah satu sisi memori Rio. Kalimat yang memintanya untuk terus melangkah dan melanjutkan hidup.

Sebuah permintaan kecil yang menjadi penyelamat hidupnya.

"Yah, bagaimana ya," gumam Rio seorang diri sembari melihat langit yang sudah gelap.

Bintang-bintang mulai sedikit terlihat di transisi langit menuju malam. Pemandangan yang cukup berbeda dengan langit yang terbuat dari kubah oksigen di kota masa depan kembali menyambut indera penglihatan sang lelaki untuk mengingatkan lagi alasan ia berada di masa ini.

"Demi kontribusi akan misi menyelamatkan bumi di masa depan."

Kehidupan di masa lalu baru akan dimulai dari sekarang.

Es Krim Untuk BumiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang