"Hai, Valerie."
"Hai, Rio, teman dekatku."
Valerie tersenyum lebar menghampiri Rio yang baru saja datang. Lelaki itu memeluk dan menepuk-nepuk punggung Rio dengan lembut.
—sebelum mendorongnya dengan kasar di bagian pundaknya.
"Apa-apaan?!" Rio sewot.
"Bisa tidak kamu memanggilku tidak ketika saat weekend? Waktu kencanku hilang, nih!"
"Hah, kamu sudah mendapatkan teman kencan di masa ini?"
"Ya, betul. Memang kenapa? Sudah sewajarnya kalau aku mudah mencari teman jalan. Mau kuajarkan?" Valerie membusungkan diri sembari tersenyum mengejek di hadapan temannya.
"Tak perlu. Bukan itu yang ingin kubahas sekarang."
"Baiklah, ayo kita langsung ke inti permasalahan. Jangan membuang waktu! Jadi, kenapa kamu memanggilku kemari?" Sahabat Rio melipat tangannya di dada, berharap jika temannya memiliki alasan yang bagus karena memanggilnya di waktu luangnya yang berharga.
"Ada suatu masalah dan ini berhubungan dengan kerahasiaan identitasku sebagai orang dari masa depan."
"Hah? Jadi kamu ketahuan—!"
"Sebentar! Jangan berteriak begitu, dong! Kita tak bisa membicarakan hal seperti itu di sini," seru Rio dengan jemari di depan bibirnya untuk mengisyaratkan Valerie.
Saat lelaki dengan rambut berantakan itu melihat sekeliling, memang mereka sekarang ada di trotoar areal pusat perbelanjaan kota Tantoris. Tempat ini memiliki banyak toko dan kios di pinggir kiri dan kanan jalan raya.
Valerie menghela nafas. "Kau benar. Mari kita pergi ke tempat yang lebih privat. Café, mungkin?"
"Aku setuju," respon Rio.
Valerie tidak habis pikir. Bisa-bisanya Rio begitu teledor dan membocorkan identitasnya sebagai sukarelawan yang datang dari masa depan. Hal ini membuat lelaki berparas rupawan itu memikirkan kemungkinan-kemungkinan terburuk jika identitas yang disinyalir tak boleh bocor apapun yang terjadi, diketahui oleh seseorang di masa lalu.
Mungkin kita akan ditangkap oleh agen polisi yang turut serta ke masa lalu? Tidak, itu cukup ringan kurasa. Pasti ada hubungannya dengan konsistensi jaman dan seterusnya? Entahlah, aku lupa detilnya. Tetapi, mengingat bagaimana mereka selalu mewanti-wanti dengan status identitas kita yang sangat rahasia.
Rio merasa tak enak selagi mereka mencari tempat yang pas. Sedari tadi ia perhatikan kalau Valerie memikirkan sesuatu yang keras. Ia menduga jika kemungkinan besar karena ucapannya barusan, mengenai identitasnya yang bocor.
"Val, bagaimana kalau café yang itu," tunjuk Rio ke sebuah coffee shop dengan nuansa kehijauan sebagai tema tempatnya. Terlihat dari jauh, plang sederhana berbentuk sebuah cangkir kopi berwarna biru kehijauan cukup menarik perhatian. Ketika Rio memerhatikan lebih detil lagi, dari jendela juga terlihat cukup sepi. Betul-betul tempat yang pas.
"Yang itu boleh. Di situ saja."
"Oke. Mari kita ke—ah."
Langkah Rio terhenti ketika ia melihat seseorang yang cukup familiar di depannya. Pikirannya sama sekali tak menyangka bahwa pertemuan selanjutnya dengannya berada di sini.
"Arisa?"
"Oh, hei. Rio. Kebetulan sekali kita bisa berpapasan di sini," sapa si gadis penggemar es krim.
Valerie melongok dari belakang Rio dan memerhatikan jika terdapat gadis berambut panjang kecoklatan sampai sekitar pinggulnya. Ia membawa dua buah tas belanjaan di kedua tangannya. Dari mana gerangan?
KAMU SEDANG MEMBACA
Es Krim Untuk Bumi
Fiksi IlmiahBumi sudah di ujung tanduk. Berkat keserakahan manusia, planet hunian ini sudah tak layak ditinggali. Untuk tetap bertahan, manusia harus mencari jalan keluar meski hal itu adalah sesuatu yang mustahil. Maka, diambillah keputusan untuk mengirim rib...