15th Fragment

2 0 0
                                    

Kamar itu tertutup rapat. Lampu telah dinyalakan sehingga dua individu yang saling duduk berhadapan mampu memandang satu sama lain dengan jelas. Vemia duduk tegak dengan pandangan matanya begitu menusuk sanubari seseorang yang seharusnya adalah kakaknya. Sedangkan, Rio tak mampu membalas tatapan itu. Rasanya seperti menguliti segala identitas dan rahasia dari dalam darinya.

Ibaratanya, Rio adalah kriminal dan Vemia akan menginterogasinya.

Vemia berdehem. "Aku rasa, pasti ada yang harus kamu jelaskan, bukan? Kenapa kamu bisa ada di dalam rumah ini, punya kamar sendiri, dan Ayah, Ibu, serta Nando memperlakukanmu sebagaimana layaknya keluarga sendiri, hal yang seperti itu."

Kepala pemuda tanggung itu berpikir cepat. Secara sepsifik, ia tak tahu harus menjaga kerahasiaan identitas atas para sukarelawan yang datang dari masa depan sejauh apa. Namun, apa yang ia pahami betul dari hasil latihan untuk persiapan perjalanan ke masa lalu adalah: Apapun yang terjadi, jangan membocorkan fakta jika ada orang dari masa depan yang datang ke masa ini.

"Sebentar, ada yang harus kupikirkan. Berikan aku waktu," pinta Rio sembari menoleh ke arah lain. Ia benar-benar kebingungan.

"Begitu? Baiklah," ujar Vemia enteng dan membuka telepon genggamnya, "asal kamu tahu, aku merekammu di tengah-tengah percakapanmu dengan seseorang yang lain sampai kamu menghilangkan layar yang melayang-layang itu."

Info Vemia barusan membuat Rio bergidik ngeri. Ternyata, ia sudah mengetahui sampai sejauh itu.

Pikirannya sedikit kalut. Ia benar-benar khawatir dengan resiko yang dielu-elukan oleh mereka yang berada di masa depan tentang identitas para relawan. Di satu sisi, ia juga tak yakin dengan apa yang akan terjadi terhadap catatan masa lalu-nya. Apakah akan hancur sehingga seluruh rumah tahu jika Rio bukan merupakan keluarga mereka yang sebenarnya? Kemudian, bagaimana jika mereka memberitahukan pihak berwenang akan eksistensi seseorang yang datang dari masa depan dan menyebarluaskannya?

Situasi jelas akan semakin kacau, batinnya.

"..."

Vemia masih sabar menunggu dan meletakkan telepon genggamnya dengan posisi screen tertutup dengan meja. Matanya begitu tajam menatap sosok dihadapannya yang tak bergeming sama sekali.

Malam telah larut. Tak ada suara berisik terdengar di luar sana selain beberapa suara mobil yang terkadang lewat dan gemericik air dari sungai yang beberapa puluh meter jauhnya. Suasana memang sesunyi itu.

Si gadis kecil itu menyandarkan tubuhnya, duduk dengan lebih santai. "Kau tahu, Kak. Ingatanku kadang bercampur jadi satu saat aku menganggapmu sebagai kakak sendiri. Dari situ, aku tahu kalau kamu adalah seseorang yang cukup baik, memperlakukanku dan yang lain seperti keluarga sendiri. Tetapi, satu hal yang tak kupahami adalah: Apa tujuanmu bermain keluarga seperti ini?"

Rio mendengar kalimat Vemia dengan saksama. Ia menganggap jika Vemia paling tidak mempercayai dirinya bukan sebagai orang yang bermaksud buruk.

"Vemia, apakah kamu bisa percaya denganku?" tanya Rio memastikan.

"Aku yakin jika Kakak adalah orang yang baik. Aku cuma ingin sebuah penjelasan yang bagus untuk menerima seorang yang asing berada di tengah keluargaku dan hidup satu atap denganku."

Alasan yang masuk akal. Jika aku berada di posisi Vemia sekarang, pasti aku juga butuh penjelasan, pikir Rio.

Setelah beberapa menit untuk pertimbangkan di dalam kepalanya, kemudian...

"Aku akan ceritakan. Tetapi, hal ini seharusnya informasi yang sangat rahasia jadi aku minta untuk menghapus rekamanmu dulu sebelum aku menjelaskan semuanya."

Es Krim Untuk BumiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang