19th Fragment

2 0 0
                                    

Kala itu, suasana laboratorium yang didominasi dengan warna putih bersih sibuk seperti biasa. Orang-orang dengan jas labnya memenuhi tempat ini dengan begitu sibuknya. Mondar-mandir sembari berdiskusi, ruang meeting yang penuh dengan diskusi intens, serta ruang penelitian yang menggunakan teknologi terkini sedang memeriksa zat yang nanometer panjangnya tanpa kesulitan.

"Arisa, ikuti Papa."

"Aku berada di belakang, Papa."

Gadis kecil bersurai panjang itu berjalan cepat, berusaha menyesuaikan lajunya dengan laki-laki di depannya. Beberapa orang yang menjumpainya melambaikan tangan ramah yang dibalas oleh Arisa kecil dengan wajah datar. Pikirannya masih belum bisa menebak ruangan mana untuk hari ini. Tetapi, ia tidak memusingkannya. Yang penting, perintah sang papa bisa diturutinya.

"Johann, temui Ayah di ruangan biasanya setelah makan siang. Jadwal Ayah baru kosong di waktu itu."

"Dimengerti, Ayah."

Kedua anak kecil yang seharusnya tidak berada di tempat ini saling bertemu pandang. Merasa menemukan kawan main bersama, Arisa dan Johann mengingat wajah satu sama lain sejak saat itu.

Ingatan gadis yang mengenakan hiasan rambut es krim itu membawanya kembali jauh ketika berhenti mengenyam pendidikan secara formal untuk beberapa waktu. Seseorang yang hadir di hadapannya sekarang benar-benar di luar ekspetasinya. Mulutnya sempat ternganga sebelum ia mengkonfirmasi jika lelaki itu adalah orang yang Arisa kenal.

"Johann... kamu Johann, bukan?" tanya Arisa tak percaya.

"Senang bertemu kembali, Arisa. Kamu tampak lebih ceria dibanding dulu." Lelaki yang sebelumnya terlihat begitu dingin musnah seketika saat ia terenyum ramah.

"Begitukah? Aku merasa tidak ada yang berubah. Tetap normal seperti biasanya."

Lelaki itu mendekat agar mampu memerhatikan wajah Arisa lebih dekat lagi. Johann tersenyum melihat bagaimana kawan masa kecilnya tumbuh dewasa setelah tidak bertemu beberapa tahun silam.

"Wah, aku jadi teringat bagaimana kita menghabiskan waktu di laboratorium itu. Belajar bersama, bermain kejar-kejaran sampai mengganggo orang-orang yang bekerja serta memainkan video game menggunakan fasilitas lab."

"Itu benar. Apalagi, aku sering melakukannya karena aku ingin melihatmu tertawa. Tetapi, raut wajahmu itu benar-benar kaku. Aku tak pernah melihatmu seperti merasa senang sekalipun."

Arisa tersenyum simpul. "Benarkah? Aku tak ingat jika aku berjalan dengan wajah cemberut. Aku sering tersenyum di depanmu, ingat?"

Johann menggeleng pelan. "Senyuman kala itu berbeda dengan senyummu barusan ketika pertama kali melihatku. Aku rasa, perjalanan ke masa ini perlahan mengubahmu. Benar-benar hebat."

"Yang benar? Memang yang cepat menyadari hal apa yang berbeda dari diri sendiri itu berasal dari orang lain," komentar Arisa. "Banyak hal yang ingin kubicarakan denganmu setelah beberapa tahun berlalu, Johann. Apakah kamu menikmati bumi yang masih berada di keadaan utuh seperti ini?"

Lelaki berkacamata itu membenarkan kacamatanya dan menoleh ke luar gazebo. Hujan masih turun meski tidak sederas tadi. Johann mengangguk sekali untuk membenarkan pertanyaan Arisa sembari berjalan mendekati pinggir gazebo dan meluruskan lengannya ke depan, sengaja membasahi jemarinya dan ia usap-usap kembali.

"Udara segar, hujan alami yang tidak berbahaya, pepohonan rindang dan tanah subur di mana-mana. Melihat lingkungan kita yang seharusnya seperti ini membuatku berpikir mengapa manusia begitu tega merusak semuanya di masa kita."

"Itu benar. Karenanya, umat manusia melakukan proyek ini untuk mengembalikan bumi menjadi planet yang aman untuk dihuni manusia kembali," ungkap Arisa. "Oh, ya. Jadi, kamu tahu tentang catatan masa lalu-ku yang bermasalah, kan? Bagaimana bisa?"

Es Krim Untuk BumiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang