Aku akan segera melupakannya.
Segera.
Apapun.
Apa saja.
Bukan kah itu menyedihkan?
Pada suatu momen melakukan hal yang membuatmu senang, namun kau tak mengingat apapun setelahnya. Seolah.. hal itu tak pernah terjadi.
Tapi, bukan kah itu bagus? Ketika ada suatu hal membuatku merasa terluka, aku tak akan pernah mengingatnya. Aku tak akan mengingat luka tersebut.
Mau sebagaimanapun orang orang mengakitiku, aku tidak akan tersakiti.. dan yang lebih penting, aku tak akan mengingat kenangan tersebut.
Hari-hari berjalan normal di Liyue.
Aku menjaga Apotek Bubu seperti biasa; melayani pelanggan apotek, mengecek stok herbal, dan membantu dr. Baizhou membuat obat.
Melayani pelanggan setia apotek, walopun mereka seakan-akan akrab denganku, tapi aku tidak mengingat mereka sama sekali. Menjawab seadanya pertanyaan mereka dan diam saat tidak ada obrolan.
Tiap stok herbal mulai menipis pun saat membantu dr. Baizhou meracik obat, aku pergi ke hutan untuk mengisi kembali persediaan. Walaupun di jalan aku sempat tertabrak babi hutan dan membuatku terjatuh dari jurang, aku segera terbangun dan mengepruk debu dari bajuku.
Apa yang diharapkan? Aku kan tidak bisa mati. Aku saja dibangkitkan dari kematian, tubuhku seharusnya sudah membusuk di bawah tanah sekarang. Namun nyatanya.. aku masih bisa memakainya dengan normal.
Mmmm.. normal mungkin sedikit berlebihan. Karena aku harus selalu melakukan peregangan tiap pagi agar otot-otot di badanku tidak kembali mengeras.
Mungkin sudah diketahui bukan? Kenapa ingatanku sangat parah? Ya, mayat hidup sepertiku tidak mungkin dapat mengingat apapun pada otaknya yang sudah mati.
Bahkan, aku bergerak berdasarkan perintah. Tapi bukan semata-mata dr. Baizhou yang memberikanku perintah, aku dapat memerintah diriku sendiri. Asal aku mengingatnya untuk memerintah diriku.
Kembali mencabut dan menggunting tanaman-tanaman herbal hingga keranjang penuh, lalu pulang balik ke apotek.
Tapi ada suatu hari.
Dia mengaku selalu berkunjung ke Apotek Bubu tiap hari untuk membeli herbal. Senyumnya begitu merekah dan wajahnya pun terlihat amat ramah.
Aku tak tahu apakah dia warga asli Liyue atau seorang pengembara. Bajunya terlalu berbeda dengan pengunjung apotek di sekitarnya saat itu.
Dia selalu mengajak dr. Baizhou berbicara tiap dokter berada di apotek.
Dia pun sering mengajakku berbicara, menemaniku memetik herbal, dan atau hanya sekedar berkeliling apotek.
Sebenarnya, aku merasakan tiap rasa dari semua interaksi itu. Senang, sedih.
Namun sayang, semuanya tidak akan ada artinya. Aku akan segera melupakanmu.
Hari demi hari berulang hingga bulan mulai berganti. Hingga dia memberiku sesuatu.
Sebuah buku catatan kecil.
"Qiqi, tulislah semua yang sudah terjadi hari ini di dalam buku ini, sehingga kau akan bisa mengingatnya di keesokan hari dengan membacanya lagi."
Ucapnya sambil menaruh buku catatan itu pada tanganku.
Aku membuka lembar pertama dan terdapat tulisan, Hari ini aku mendapatkan buku ini dari Aether.
Setelah aku membacanya, aku mendongak melihat dirinya dengan wajah tersenyum.
"Kau mau berbicara sesuatu denganku?" ucapnya sambil duduk di sampingku. Matahari di kejauhan mulai memerahkan langit.
"Berbicara..... berbicara..... ?" ucapku. "Berbicara denganmu akan menyenangkan. Tapi....."
Pikiranku mulai memudar lagi.
"Tapi?"
"Qiqi akan segera melupakannya," ucapku. "Qiqi akan melupakan semua yang telah kita bicarakan. Qiqi akan melupakan bagaimana terdengarnya suaramu."
"Dan perasaan bahagianya juga... Qiqi akan lupa." Untuk sekian kalinya, aku merasa sedih akan hal ini. Nada suaraku pun tidak dapat memungkirinya.
Namun, wajah berbinar yang sempat terbersit kesedihan itu kembali terang. Dan dengan semangatnya, dia berkata, "Maka aku akan datang dan berbicara denganmu tiap hari!"
"Tiap hari.... ?" Ucapku tak percaya.
Dia mengangguk.
"Kalau begitu.... tiap hari akan terasa menyenangkan?" Tanyaku yang dibalas anggukan olehnya.
"Uhn!" Aku mengangguk. "Qiqi akan tersenyum!"
Wajahnya begitu bahagia setelah aku mengatakan itu.
"Aww.... Bukankah senyummu sungguh menggemaskan, Qiqi!"
"Ohh...." Celetukku tak sadar bahwa lengkungan perahu tercetak pada bibirku yang kaku.
—END