Merespon sebuah kesalahan. Sebuah hal yang butuh di asah. Tak banyak orang bisa menguasai atas respon yang dilakukan ketika menyadari dirinya salah. Karena pada dasarnya manusia seringkali dikuasai oleh ketinggian diri. Manusia memiliki sisi dimana ia tak ingin tampak bersalah atau buruk di hadapan orang lain.Merespon secara harfiah bemakna menanggapi. Menanggapi bisa juga diartikan bereaksi atas apa yang menimpa atau ia rasakan. Maka biasanya respon digolongkan menjadi dua, respon positip atau negatip. Tergantung bagaimana cara pandang dalam menanggapi sebuah problematika.
Cara pandang seseorang tentu saja tak lepas dari pemikiran yang dimiliki. Pemikiran yang tentu tak akan jauh dari sebuah keyakinan. Seseorang yang meyakini bahwa ketika melakukan kesalahan pada manusia, maka ia harus meminta maaf pada manusia itu sendiri dan bertaubat. Berbeda ketika melakukan salah pada Ar Rahman dan Rahiim. Cukup mengucap istighfar, berjanji kuat tak akan mengulangi atau bertaubat dan berusaha menebusnya dengan memperbanyak kebaikan. Berbeda ketika melakukan kesalahan pada manusia. Harus meminta kerdhoan atas khilaf yang dilakukan pada manusia itu sendiri. Dan manusia itu bukanlah Tuhan yang memiliki sifat Rahman dan Rahim, Maha Pemaaf dan Maha Pengampun. Itu faktanya.
Begitu banyak persoalan antar manusia yang mengguncang dunia dengan segala carut marutnya. Tawuran, saling bunuh, saling benci dan putusnya silaturahmi seringkali dipicu oleh kesalahan antar manusia. Tak ada kerelaan untuk saling memafkan. Mengangkat sisi "lebih" dalam diri. Lebih benar, lebih hebat dan lebih lainnya. Karena itu ada sebuah istilah, berbuat salah pada Allah itu masih lebih mudah daripada berbuat salah pada manusia. Karena meminta keridhoan maaf pada sosok manusia itu terkadang tak mudah. Hanya orang berhati luas yang paham dipenuhi iman dan taqwa bisa dengan mudah memaafkan khilaf orang lain. Karena memang itu tak mudah.
Maka dalam agama sudah diajarkan untuk meminta maaf kapanpun dan pada siapapun meski bukan pada posisi sedang atau telah berbuat salah. Bahkan dalam posisi benar sekalipun. Menuntut seorang hamba untuk memberi respon positip atas sebuah kesalahan. Bahwa agama tak menyuruh seorang hamba untuk mencari siapa yang salah dan disalahkan. Tetapi diperintahkan untuk saling memaafkan.
"Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan pemberian yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun" ( QS. Al Baqarah : 263)
Sepoi udara khas pedesaan menerpa tubuh. Terasa nyaman dan menyejukkan. Meja rotan yang ada di kebun belakang rumah induk ustadz Jauhar tampak beberapa jajanan. Ada lupis, gethuk lindri dan koci-koci. Itu semua jajanan jaman old kesukaan ustadz Jauhar. Di samping jajanan tersebut ada sepoci es teh yang siap menyegarkan tenggorokan. Sungguh tak salah jika kebun belakang yang dipenuhi pohon mangga dan jambu air tersebut menjadi favorit ustadz kharismatik yang terkenal dengan kedermawanannya itu.
"Ustadz Usman dan ustadz Fadil sudah balik ke Tuban, Bah" suara Irham membuat ustadz Jauhar menoleh. Kemudian mengangguk. Barusan memang ada tamu dari Tuban mengunjungi ustadz Jauhar. Ustdaz Usman adalah teman lama ustadz Jauhar di masa nyantri. Sedangkan ustadz Fadil adalah putra sulung ustadz Usman. Rupanya baru saja ustadz Jauhar temu kangen dengan teman masa nyantrinya ditemani Taqi dan Irham.
"Duduk dulu sini, Ir. Kamu masih ada kerjaan?" Tanya ustadz Jauhar menyuruh Irham duduk di kursi yang ada di depannya. Baru saja Irham dan Taqi mengantarkan ustadz Usman dan putranya ke tempat memarkirkan kendaraan.
"Kamu juga Qi, duduk sini dulu" Taqi yang ternyata ikut balik ke kebun belakang juga mendapat titah yang sama.
Dua lelaki berwajah teduh dan bersih khas penghafal Quran hanya mengangguk. Keduanya menuruti apa kata abah mereka. Dan duduk bersisian di depan abah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Story in Hospital 5 (Always Forever in Love)
DuchoweMenemukan pelabuhan hati di kehidupan dunia tentu saja harapan tiap insan. Bertemu dengan orang yang tepat dan di waktu yang tepat. Itu inginnya. Tanpa melebihkan pun mengurangkan tentang hakikat takdir. Asa yang selalu dilangitkan terjawab ijabah...