46. Between Promise and Not Promise

824 50 8
                                    

Karena adanya ujian sekolah membuat murid kelas 12 pulang lebih awal, sekitar pukul 12 siang. Sama seperti murid kelas 12, kelas 10 atau 11 juga pulang lebih awal dikarenakan adanya ujian kenaikan kelas.

"Jadi gimana? Kamu mau nganterin aku kerumah Mama atau aku berangkat sendiri naik angkutan umum?" tanya Jihan ada Julian saat mereka sudah berada di parkiran sekolah.

Julian menghelas nafasnya sambil memejamkan matanya sejenak. Ia membasahi bibirnya yang kering. "Oke aku anterin," putusnya setelah itu.

Bukan jawaban ini sebenarnya yang Jihan mau. Lebih baik ia naik angkutan umum daripada membuat Julian teringat cintanya pada Jingga. Ingin sekali Jihan egois untuk kali ini. Karena menurutnya, sebentar lagi usahanya membuat jatuh cinta Julian berhasil.

"Kamu yakin?" tanya Jihan memastikan.

Julian menoleh sebentar pada Jihan setelah itu ia kembali fokus pada jalanan yang ada dihadapannya. Ia tengah menyetir. "Kenapa memang? Masa aku mau kerumah mertua dan silaturahmi nggak boleh?"

"Bukan itu maksudku. Aku__"

"Iya aku paham kekhawatiranmu." Julian mengelus kepala Jihan dengan sayang. "Maaf aku juga takut, aku juga belum bisa memastikan perasaanku ini. Tapi aku bisa memastikan kalo aku nggak akan kembali sama Jingga."

Jihan menunduk sambil memainkan jari-jarinya. Ia masih bimbang.

Diam-diam Julian mengambil tangan Jihan untuk ia genggam. Ia juga sesekali mengelus punggung tangan gadis itu. "Kamu nggak usah khawatir. Aku janji nggak akan kembali sama Jingga."

Iya kamu janji nggak kembali sama Jingga, tapi kamu nggak janji kalo perasaanmu nggak akan kembali.

Tentu saja kata-kata itu hanya bisa ia utarakan dalam hatinya saja. Tak mungkin ia mengucapkannya di mulutnya. Jika itu terjadi, bisa saja ia dan Julian kembali bertengkar seperti dulu. Jihan sudah sangat bahagia dengan keadaan mereka yang baik-baik seperti ini.

Jihan hanya tersenyum tipis menanggapi ucapan Julian itu.

***

"Assalamualaikum, Ma," teriak Jihan sambil berjalan masuk menuju ruang tamu rumah orangtuanya. Sementara Julian tentu saja mengucapkan salam itu tidak menggunakan teriakan seperti istrinya, ia juga mengikuti dari belakang langkah kaki gadis itu.

"Waalaikumsalam," balas wanita paruh baya dari arah pintu samping rumahnya. "Kalian kok kesini nggak kabar-kabar sih? Udah makan belum?"

"Kami udah makan kok, Ma," jawab Julian pada ibu mertuanya itu. Iren juga sudah menarik anak dan menantunya untuk duduk di sofa ruang keluarga. "Maaf ya, Ma, nggak ngabarin. Jihan tadi minta buat dianterin ke rumah Mama."

"Yaudah kalo gitu kalian nanti malam nginep ya." Tawaran dari Iren membuat Jihan termenung. Ia bingung harus menjawab apa, ia masih dibayang-bayangi oleh segala ketakutannya.

"Eemm, Bun. Besok kan kita masih ujian," tolak Julian secara halus. Tapi memang tak salah dengan alasannya itu, ia juga tak berbohong. Karena nyatanya, ia dan Jihan masih ujian hingga 3 hari kedepan.

"Yaudah kalian besok malam Minggu nginep disini aja. Hari Minggu nggak mungkin kan kalian masuk sekolah."

Skak

Jihan dan Julian sekarang bingung harus menolak dengan alasan seperti apa lagi. Pasalnya ucapan yang Iren lontarkan itu benar adanya, mana ada sekolah umum masuk di hari Minggu. Terlebih Iren menatap mereka dengan tatapan berharap. Dengan kaku Julian mengangguk, tak sampai hati ia harus menolak permintaan ibu mertuanya itu.

Julian Untuk Jihan [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang