Sore yang dingin. Udara terasa lembab. Angin membawa aroma air berhembus sedikit kencang. Terasa menusuk sampai ke sungsum tulang. Namun rasa dingin tak menyurutkan langkah kaki Anna menyusuri trotoar, di sepanjang jalan protokol yang terletak di tengah kota. Air mata yang begitu saja lolos dari kedua mata dengan manik kecoklatan, dibiarkan begitu saja membasahi kedua pipi yang halus terawat.
Maheswari Anandira Hanis. Gadis muda berusia dua puluh empat tahun. Kepala Bagian Divisi Marketing sebuah perusahaan buku tulis yang cukup bonafid. Sangat terkenal dikalangan pelajar dan pengguna ATK—alat tulis dan kantor. Terutama bagi mereka dari kalangan menengah ke atas. Berbagai produk berbahan dasar kertas sudah banyak dihasilkan oleh perusahaan yang berpusat di Kota Solo itu.
Perih terasa hati, saat mengingat lelaki yang sudah mengikat dirinya dengan pertunangan, begitu tega berkhianat. Memadu kasih dengan seorang wanita yang kebetulan dikenal Anna. Bayangan kemesraan mereka berdua, di kamar kost yang sengaja disewa Indra, untuk beristirahat saat IB dari batalyon tempatnya berdinas, semakin membuat kepala Anna terasa bedenyut nyeri.
Entah sudah berapa ratus meter paving block dilaluinya. Sekedar menguarkan rasa sakit yang semakin menyesakkan dada. Tanpa arah tujuan kaki melangkah. Hingga tanpa ia sadari ada sebuah sepeda motor yang melaju kencang ke arahnya. Menghantam tubuh Anna terpelanting membentur tembok pagar rumah sakit tentara, hingga tak sadarkan diri.
Anna merasa seperti berada disebuah taman yang indah. Di sana ada Papa yang begitu dirindukan. Melangkah mendekati lelaki yang merupakan cinta pertamanya, yang sedang tersenyum sambil mengembangkan kedua tanggan, seakan bersiap memeluk putri pertamanya. Putri yang selalu membuatnya bangga sebagai orang tua. Namun saat Anna semakin mendekat. Papanya justru semakin menjauh, semakin jauh. Hingga menghilang tanpa meninggalkan jejak.
Anna berlari sambil memanggil manggil Papanya. Namun dia tersadar jika, sekarang hanya ada dirinya sendiri berada di taman yang begitu luas dan seperti tak berujung. Seketika terlihat cahaya yang datang entah dari mana. Begitu menyilaukan mata, sampai dirinya merasa semua gelap dan tak ingat apa-apa lagi.
Sayup terdengar lantunan suara orang membaca ayat suci Al quran. Matanya terasa berat, namun dipaksakan membuka keduanya. Kepala terasa sakit. Seluruh badan terasa remuk. Anna hanya bisa mengeluh lirih, mengungkapkan rasa sakit yang mendera di sekujur tubuh.
“An, Anna,” terdengar suara seseorang memanggil. Namun entah siapa. Si empunya suara memencet tombol darurat yang berada di samping ranjang.
“Iya Pak, ada apa?” seorang perawat memasuki ruang rawat dengan fasilitas kamar standar kelas satu.
“Sus, pasien sudah sadar.”
“Baik pak, sebentar saya panggilkan dokter.”
“Iya sus, terimakasih.”
Segera perawat tersebut meningalkan kamar yang berada di pavilium sebuah rumah sakit. Tak lama perawat kembali bersama dengan dokter yang akan memeriksa keadaan Anna.
“Pasien sudah melewati masa kritisnya dan sudah siuman. Kita tunggu untuk perkembangan selanjutnya. Kami akan tetap melakukan observasi kalau pasien sudah bisa diajak berbicara,” Dokter Farrah menjelaskan kondisi Anna saat ini.
“Apa akan lama prosesnya, Dok?”
“Kalau pasien sudah bisa diajak berkomunikasi, insyaallah akan lebih cepat pemulihannya.”
“Baiklah, terimakasih untuk penjelasannya.”
“Biarkan pasien beristirahat dulu. Saya permisi ke ruangan yang lain.”
“Silahkan Dok, sekali lagi terimakasih.”
“Sama-sama. assalamualaikum.”
“Alaikumsalam.”
Sepeninggal Dokter Farrah, terdengar gumanan lirih dari bibir pucat Anna. Segera lelaki yang sudah dua hari selalu menemani Anna sejak masuk rumah sakit, mendekat ke ranjang.
“Papa .…” kembali terdengar suara lirih yang masih lemah.
“An, mana yang terasa sakit?” diusapnya rambut hitam legam milik Anna. Kepalanya terbalut perban. Ada luka benturan dikepala, tidak parah namun meninggalkan luka robek dikulit kepala gadis yang sedang patah hati parah.
Perlahan namun pasti, Anna membuka kedua matanya. Cahaya silau segera menyelusup masuk ke netra yang terbiasa memancarkan keteduhan. Jemarinya begerak perlahan seiring berangsur kesadarannya.
“Ini dimana?”
“An, alhamdulillah sudah sadar kamu,” Segera lelaki yang selalu ada di samping Anna lebih mendekat.
“Mas Dika, ini dimana? Kepalaku kenapa terasa sakit banget?”
Mahardika Hariyanto, tentara berpangkat Prajurit Satu. Bertugas di Detasemen kesehatan tempat Anna di rawat sekarang. Dika sudah mengenal Anna sejak mereka masih sama-sama duduk dibangku Sekolah Dasar. Saat itu Anna duduk di kelas 1 sedang Dika di kelas 3.
“Kamu kecelakaan di depan rumah sakit. Pas banget aku mau pulang, makanya aku bawa aja ke sini. Kamu nggak sadar dari kemaren.”
“Masyaallah, maaf ya Mas sudah merepotkan.”
“Ngomong opo to, An. Nggak ada yang repot. Aku kerja bisa sambil jagain kamu. Maaf sengaja aku nggak bilang sama bulik. Dua hari kamu nggak pulang aja nggak dicariin, kan?”
“Ya sudah, nggak usah dikabarin. Tapi Mas kasih kabar ke uti nggak? takut uti sama kakung khawatir.”
“Kabarin lah. Aku bilangin pelan-pelan, takut mereka kaget. Uti malah minta ke sini, mau nemenin kamu katanya. Tapi aku larang, kesehatan uti juga jadi pertimbanganku. Sudah nggak usah mikir yang di rumah. Fokus aja sama kesehatan kamu.”
“Iya Mas, makasih ya. Hari ini Mas nggak kerja?”
“Aku shif m.alam. Di bangsal ini juga, jadi gampang mantau kamu sekalian jaga. Sudah nggak usah mikir apa-apa. Istirahat aja lagi. Dokter visite nanti siang setelah praktek di poli.”
“Mas, ponselku dimana?”
“Ada, aku simpan. Berisik, bunyi terus makanya aku matiin.”
“Kok dimatiin? nanti kalo orang kantor telpon gimana?”
“Aku sudah telpon Bu Tiwik juga Ida. Kasih kabar kalau kamu dirawat. Atau kamu takut Indra yang telpon ya?”
Seketika perih hati Anna saat nama Indra di sebut. Air mata sudah menggenang dan hampir jatuh, namun segera di hapusnya. Dika sekilas melihat gadis dengan lesung pipit melakukan hal itu. Seketika rahangnya mengeras. Mengetahui wanita yang sudah ada dihatinya sejak kecil terluka. Semua karena lelaki yang telah memenangkan hati gadis kecilnya.
“Sudahlah An, tidak perlu mengingat hal yang hanya membuatmu sakit. Lepaskan jika memang sudah tidak layak di pertahankan. Masa depan kamu masih panjang.”
“Mas Dika tu ngomong apa?”
“Ida sudah cerita semua ke aku. Ya sudah kamu istirahat lagi. Aku mau ke kantin sebentar. Jus jammer mau?”
“Mau Mas, lemes banget rasanya,”
Dikapun melangkah keluar, setelah mengambil dompet dan ponsel dari slingbag yang selalu dibawanya.Anna memperhatikan lelaki yang sudah begitu baik. Selalu ada saat dirinya membutuhkan seseorang, untuk menjadi sandaran kalau merasa rapuh.
“Mas .…”
“Hmmm .…” Dika memutar badannya menghadap ke arah Anna.
“Terimakasih untuk semua.”
Dika melambaikan sebelah tanggannya untuk menjawab.Pemuda gagah itu melangkah keluar Ruang Mawar kamar nomer 4.~ Bersambung ~
KAMU SEDANG MEMBACA
The Flow Of Anna'S Life
RomancePerjalanan hidup seorang gadis bernama Anna. Kisah yang mengharu biru, dengan konflik, intri, membumbui romansa percintaan Anna yang merejam hati hingga membuatnya memdendam