26. Should Be Friends?🕊

31 6 0
                                    

Happy Reading

Saran Ost : Street by Doja Cat

Btw, jika ada kalimat rancu maupun kalimat typo, silakan langsung berkomentar saja, ya. Terima kasih💛.

***

Berlari turun dari bus dengan penampilan khas kasualnya, Hanna membenahi rambut juga pakaian yang ia kenakan-setidaknya agar nampak rapi saja.

Ia memelankan langkah kala jarak antara tempatnya berjalan dan perusahaan sudah dekat. Samar-samar terdengar mobil yang terus saja membunyikan klakson di belakangnya.
Tak ingin peduli ia terus menapak, selain membuang waktu memedulikan, ia pun merasa pasti itu hanya orang iseng belaka. Sebenarnya akan sangat membuang waktu jika harus ditanggapi.

Namun, kian lama tubuhnya melanglah, semakin keras dan intens pula bunyi klakson itu terdengar ditelinga. Menarik napas dalam-dalam Hanna sejenak, ia malas sebenarnya berurusan dengan permasalahan seperti ini. Tapi, sekarang benar-benar emosinya telah di ubun-ubun, Hanna membalikkan tubuh sebab risih, kemudian tak lama nampak kepala seorang Pria dibalik kaca sembari mengayunkan tangan menyapa amat santai. Seolah Hanna adalah fansnya di sana. 

"Hai, good morning, Hanna."

Sapanya amat santai, Hanna berseru balik tak kalah kuat. "Kamu membuat pagiku tiba-tiba berantakan, Sebastian."

Sebastian menyulam tawa renyah, ia melajukan mobilnya hingga benar-benar berada di sisi tubuh Wanita itu.

"Mau naik? Masih lumayan jauh untuk sampai ke dalam gedung sana...," sambungnya sembari menawarkan tumpangan. "Aku benci ditolak lagi, jadi sekali ini saja. Ayolah, mobilku juga tak kalah bagus dari yang lain," timpal Sebastian.

Ternyata orang yang berhasil menarik paksa amarahnya itu adalah Sebastian—rekan kerjanya di hari pertama ia masuk dan beraktifitas di perusahaan.

Hanna dibuat tertawa oleh kalimat terakhir Sebastian untuknya. Pasalnya, memang kemarin ia menolak ajakan Pria itu, tapi bukan karena mobilnya—sungguh alasan yang sangat salah. Tapi, karena memang ia tidak terlalu mau menjalin hubungan dekat dengan orang yang bahkan sebelumnya tidak ia kenal. Lagipula, meskipun ia kenal Sebastian dekat, tak mau juga ia menyusahkannya untuk mengantarkan pulang.

Tanpa penolakan pun sebab Hanna merasa tak enak hati untuk tidak menerima ajakan Sebastian akhirnya Hanna masuk ke dalam mobil, dengan lengkung di bibir.

"Kalau tertawa seperti ini kan lebih menyenangkan. Aku pertama kali melihatmu, serasa sudah bertemu dengan malaikat pencabut nyawa. Saking kamu terlalu dinginnya," tandas Sebastian.

"Saya tidak dingin, hanya memang sedang beradaptasi saja."

"Kamu menggunakan 'Saya' saja sudah merasa bahwa kita sangat teramat berjarak, Han."

"Oh, ya? Kenapa? Saya terbiasa seperti itu, kalau 'aku' 'kamu' baru ke orang yang Saya tahu dan kenal dekat sekali."

"Kalau denganku pakai 'aku' 'kamu' saja, Han, kalau tidak di dalam konteks pembahasan resmi di perusahaan. Aku sih tidak masalah, kalau hanya sedang berbicara berdua seperti ini lebih nyaman demikian, ketimbang 'saya'."

"Baiklah, bapak Sebastian, Aku akan pakai 'aku' 'kamu'," tandas Hanna dengan suara dan gerakan khasnya mengangkat alis.

Terdengar sangat aneh ucapan itu, Sebastian hanya sanggup menahan tawa. Hanna memang wanita unik, sangat berbeda dari yang lain. Ia menatap Wanita itu dari sisi kiri, hidungnya yang mancung, kulitnya sangat putih—bahkan terbilang seperti pucat, penampilannya biasa saja, tak mewah dan tak juga nampak terlalu rendahan. Seimbang.

𝐒𝐞𝐛𝐮𝐚𝐡 𝐀𝐥𝐚𝐬𝐚𝐧 𝐏𝐚𝐭𝐚𝐡 𝐇𝐚𝐭𝐢 (𝐎𝐧 𝐆𝐨𝐢𝐧𝐠)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang