Mahluk Naga itu terbang membelah gelapnya malam, duduk Larantuka dan Candini dipunggungnya menuju tempat Nyi Ratu Gondo Mayit bersemayam. Larantuka bersila menatap ke depan tak berkedip sementara disampingnya ikut duduk pendekar wanita cantik berusia belia bernama Candini. Selendang kuningnya tampak bergelombang diterbangkan angin.
"Bukan main, aku seperti mimpi kakang, bisa mengendarai Naga terbang. Tidak terbayang dalam benakku ada hewan yang agung seperti ini" celoteh Candini sambil takjub merasakan desir angin di sela rambutnya.
Pemuda itu tersenyum, "jika kau berkelana ke penjuru bumi maka kau akan menemukan bermacam hal menakjubkan lainnya."
Sancaka malah menggeram diantara kumpulan awan. "Bicara hewan lagi kulempar kau dari ketinggian bocah cilik!"
Gadis itu menatap Larantuka dengan penuh ketakutan. Namun Larantuka membalas santai.
"Sebenarnya mereka bukanlah hewan Candini. Mereka adakah termasuk empat bangsa ciptaan selain Bangsa Manusia, Bangsa Iblis dan Bangsa Peri." terang Larantuka.
"Empat bangsa? Aku belum pernah mendengarnya. Maafkan aku jika menyinggung perasaanmu Sancaka" pint Candini sambil mengusap sisik tebal Sancaka.
Naga itu mendengus kasar.
"Ini cerita yang lama sekali Candini, tidak banyak yang tahu, disampaikan secara turun-temurun dan sering terlupakan. Pada mulanya ada empat bangsa diciptakan secara damai untuk memenuhi bumi ini. Bangsa Naga diciptakan paling unggul dengan kemampuan memanipulasi unsur alam. Diikuti oleh kesaktian yang diberikan pada kaum Iblis. Seiring semakin berjalannya waktu telah terjadi ketidak seimbangan alam akibat kekuatan yang dimiliki oleh bangsa Naga dan bangsa Iblis. Semakin lama manusia menjadi tersisih."
"Lalu kenapa kaum manusia sekarang malah bertambah banyak?"
Lelaki itu tersenyum, "itu karena manusia memiliki ini" sahutnya sambil menunjuk kepala, "Manusia dianugerahi kemampuan untuk belajar. Mereka gigih pantang putus asa dan dengan pandai terus belajar beradaptasi. Mereka belajar ilmu kesaktian dan kadigjayaan dari bangsa lain untuk bertahan hidup."
"Huh, asal kau ingat bangsa manusia juga munafik dan penuh akal bulus. Banyak manusia yang berkhianat kepada bangsa Naga, membunuh kami setelah berhasil menguasai berbagai macam ilmu kesaktian." sahut Sancaka dengan nada sinis.
Candini mengangguk, ia telah melihat kebejatan moral manusia seperti sasrobahu, terkadang mereka menjadi lebih kejam dari Iblis.
"Kau benar Sancaka, ada diantara kami manusia berhati busuk seperti para pendekar ilmu hitam dan kaum bromocorah lainnya. Tapi seharusnya tidak bisa melawan bangsa Naga yang memiliki sumber segala kesaktian." ujar Candini.
"Hmmh memang, kecuali jika kami dibokong secara licik, selain itu bangsa kami juga suka mengasingkan diri, bertapa hingga mencapai moksa. Ditambah bangsa kami juga jarang berkembang biak layaknya manusia. Itulah alasan kenapa bangsa Naga menyusut dan hampir punah."
Candini sudah membuka mulut untuk memprotes masalah berkembang biak, tetapi kerlingan dan gelengan kepala Larantuka menghentikannya. Akhirnya ia tutup mulut menahan celotehan, memang lebih baik diam daripada dilempar Sancaka dari ketinggian.
Dari kejauhan Istana Nyi Ratu Gondo Mayit semakin terlihat jelas, pucuk pucuk menara bercat merah darah, jendelanya nampak hitam legam tidak terjangkau cahaya rembulan.
Larantuka berdiri dengan terpincang. Kaki kanan dan tangan kirinya semakin sulit digerakkan, kaku bagaikan papan kayu. Ia berdiri seperti hendak terjun.
Tangan Candini melingkar erat di tangan kiri Larantuka seakan tak mau lepas. Wajahnya terlihat muram sambil sesekali mengeluh.
"Apa yang mengganggu pikiranmu Candini?" tanya Larantuka, wajahnya tetap menatap ke depan.
Dalam dada Larantuka seperti merasakan kerisauan Candini.
"Ini ...kakang, beberapa saat yang lalu kau bisa menggunakan kedua tanganmu untuk bertarung. Tangan kirimu sangat hebat dalam menangkis dan memukul mundur musuh. Sungguh dahsyat. Tapi mengapa... sekarang jadi seperti ini?"
Gadis itu mengelus lengan atas Larantuka yang kaku seperti kayu. Ada guratan aneh ditelapak tangannya seperti rajah yang masuk ke pergelangan tangan.
Larantuka tersenyum, berusaha membunuh rasa khawatir Candini.
"Ada sebab juga ada akibat, jika ingin kekuatan maka ada harga mahal yang harus dibayar. Aku juga menggunakan ilmu Sembilan Kegelapan. Ilmu ini memakan tumbal setiap naik tingkatan, untuk itu aku mengorbankan bagian tubuhku ketimbang nyawa manusia lain yang tak berdosa."
Candini membelalak lebar, teramat kejam ilmu hitam itu menggerogoti badan Larantuka.
"Kakang... "
" Ini wajar dalam dunia persilatan Candini. Saat kau sudah memutuskan untuk berjalan diatas jalan penuh karang terjal. Sedikit luka dan goresan kerikil tajam tidak akam menyurutkanmu"
Candini menatap Larantuka penuh rasa tak mengerti, "T-tapi ini kaki dan tanganmu sendiri Kakang. Bagaimana jika kau terus menerus memakai ilmu ini? Apa yang akan terjadi padamu?"
Larantuka terdiam sejenak, "Aku tak pernah memikirkannya, di tahap puncak mungkin badanku akan kaku seperti mayat hidup seluruhnya."
"jika kau tak bisa bergerak maka ... musuh bisa membunuhmu kapan saja! Lebih baik kakang buang ilmu sesat ini."
Larantuka menoleh sambil tersenyum kecil, "Setiap keputusan telah kupertimbangkan masak-masak Candini. Aku masih membutuhkan daya hancur ilmu Sembilan Kegelapan yang besar untuk melawan para iblis, biar senajta makan tuan. Akan kupergunakan tahap puncak untuk musuh terkuat yang pernah kutemui. Kupastikan dia hancur dalam sekali serang sebelum sempat membunuhku."
"Ah" decak Candini gemas, ini sama saja dengan nekat bunuh diri. Sungguh sangat disayangkan bila pendekar sakti dan tampan harus mati konyol menjadi mayat hidup! Kenapa sih banyak orang sangat suka memakai ilmu hitam untuk menambah kesaktian? Sudah banyak pendekar ilmu hitam meregang nyawa di buru oleh pihak kerajaan, belum lagi yang tewas konyol akibat salah berlatih.
Pendekar wanita itu kembali mengusap lengan atas Larantuka dengan penuh iba. Entah cara apa yang bisa ia lakukan untuk menyelamatkan Larantuka dari kehancuran.
"Hmmh Sudah cukup rengekan kalian, kita sudah sampai!" teriak Sancaka gemas.
Ular Naga itu mengibaskan sayapnya dua kali untuk mendarat, tiga minaret hancur lebur saat cakarnya yang besar hinggap diatasnya.
Kedua pendekar segera meloncat dari punggung Naga itu, Candini bersalto tiga kali hingga mendarat ditanah, sedangkan Larantuka melayang enteng seperti bulu burung sampai kakinya menginjak tanah.
Baru melangkah satu tapak, Candini merasakan kengerian luar biasa melihat istana Jalma Mati di alam demit. Ternyata dindingnya yang berwarna merah darah terdiri dari ribuan tonjolan-tonjolan wajah manusia. Muka mereka melotot dan menganga penuh dengan rasa takut dan penderitaan.
"Kakang! Istana macam apa ini!"
""Jangan terpengaruh, itu adalah ilusi yang diciptakan oleh Gondo Mayit dari manusia tawanannya. Semuanya adalah arwah penasaran." ujar Larantuka.
Tiba tiba bumi seperti bergetar, ribuan kelelawar berterbangan dari puncak-puncak menara istana yang tajam. Kemudian terdengar suara wanita tanpa wujud.
"Hahahaha kalian berani masuk ke istanaku, inilah kerajaanku Jalma Mati, masuklah ke dalam istana, jadilah Abdiku Ha ha ha ha"
Suara itu menghilang diikuti dengan alunan irama gamelan yang menyesakkan dada Candini.
"Jangan terpengauh, gunakan tenaga dalam untuk menguatkan indra pendengarmu!"
Gadis itu mengangguk. Didepan sana terdengar suara berderit saat gerbang seluas rumah besar terbuka lebar, obor di kanan kiri mendadak menyala sendiri. Segera saja Bau amis darah menyeruak menusuk hidung Candini.
(Bersambung)3
KAMU SEDANG MEMBACA
LARANTUKA PENDEKAR CACAT PEMBASMI IBLIS
ParanormalPendekar misterius, utusan dari neraka untuk para iblis. Ketika namanya disebut akan membuat pucat para demit, jin, banaspati dan genderuwo. Kemana langkahnya pergi, hanya akan ada kepiluan dan tangis darah. Karena setiap yang ia sentuh, akan menj...