"Kebakaran! Kebakaran!"
Suara teriakan warga sekitar menggema bersamaan dengan sirine mobil Damkar yang melintasi keramaian.
Kulihat para petugas berseragam jingga itu bergegas turun sembari sibuk menarik selang yang akan menyemburkan air. Mereka berteriak, saling memberikan perintah agar api yang sedang berkobar dapat segera dipadamkan.
Aku terpaku dengan tangan gemetaran di depan bengkel. Bangunan kokoh yang selama ini menjadi tempat mencari rezeki itu kini lenyap dalam sekejap.
Untungnya tidak ada korban jiwa karena terjadi di malam hari saat bengkel sudah tutup. Diduga, korsleting listrik adalah penyebab utamanya.
"Sabar, Pak," ucap salah seorang karyawan sembari menepuk bahuku.
Dialah yang memberitahu karena tinggal di dekat situ. Aku terbangun di tengah malam karena sebuah telepon yang mengabari kejadian ini. Kutinggalkan Riska yang kebingungan dan bergegas menuju ke sini.
"Semangat saya hilang bersama dengan hancurnya bangunan ini," lirihku sembari tertunduk lemas. Masker yang seharusnya kupakai agar tak terpapar asap dan debu malah sengaja kubuka.
"Semua memang sudah jalannya, Pak. Kita hanya bisa menerima. Setiap kejadian pasti ada hikmahnya."
Kutatap dia dengan pikiran gamang. Aku memang telah kehilangan usaha dan itu bisa dibangun kembali. Namun, mereka yang kehilangan pekerjaan justru terlihat lebih tenang dan ikhlas.
"Saya sudah gak punya pekerjaan yang bisa dibanggakan," lirihku.
Merasa tak kuat lagi akhirnya aku terduduk di tanah. Dua jam menatap kobaran api membuat napas terasa sesak. Kupasang kembali masker dan membisu, menyaksikan bangunan itu rata dengan tanah. Tak ada yang tersisa. Semua lenyap begitu saja.
"Pak. Jangan meletakkan harga diri pada sesuatu yang wujudnya materi. Jangan sampai ketika itu diambil lagi sama pemilik-Nya, harga diri Bapak ikut hilang juga."
Aku tersentak saat mendengar ucapan itu. Benar katanya, selama ini aku selalu membanggakan bengkel hingga lupa bahwa itu hanya titipan. Lagipula, semua dibangun dari hasil pekerjaan kotor, tak pantas aku menyombongkannya.
Aku tertunduk sembari menghela napas panjang, berusaha berbesar hati menerima semua. Lalu, dalam hatiku berucap, suatu hari nanti akan kubangun kembali bengkel ini.
***
Satu minggu kemudian.
"Namanya musibah, ya mau gimana lagi. Mungkin itu memang sudah jalannya," ucap papa mertuaku saat kami datang berkunjung.
Setelah mendengar berita itu, banyak keluarga yang memberikan semangat kepada kami, terutama aku yang saat ini hanya berdiam diri di rumah.
Ada beberapa rencana yang sedang aku susun untuk kembali membuka bengkel, tetapi terkendala modal. Aku tak mendaftarkan asuransi pada saat usahaku masih berjaya. Kini, aku harus memutar otak mencari solusinya.
"Mas Rahman mau bantu aku di butik saja sementara waktu, Pa. Daripada diem-diem di rumah," jawab Riska.
"Ya bagus kalau begitu. Nganggur, kan gak enak. Mau bangun lagi belum ada dananya, kan?" tanya ibu mertuaku.
Entah mengapa aku merasa ada yang aneh dengan sikap mertuaku. Dulu, mereka tidak seperti ini. Sekalipun tak terlalu menyukaiku, tetapi sikapnya masih ramah.
"Itulah maksud kedatangan kami, Ma. Mau minya bantuan Papa. Soal ... modal," jelas Riska lagi.
"Loh, kok kamu yang bicara? Bukannya Rahman yang butuh?" tanya mama mertuaku ketus.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Suami Mandul [Tamat]
RomanceRahman harus menerima kenyataan pahit setelah divonis mandul, di saat dia memutuskan untuk bertaubat dan berhenti dari pekerjaan sebelumnya, yaitu seorang gigolo. Riska, sang istri yang awalnya kecewa dan meminta bercerai, lambat laun bisa menerima...