щ Black Haired Girl щ

250 30 13
                                    

Topeng senyuman melekat erat pada wajah manusia-manusia di Bumi ini. Kisah penuh kepalsuan menyebarluas bagai lentera malam yang memasuki musim dingin. Jeritan-jeritan mereka yang kelaparan mengikis waktu tiada hentinya. Jalanan saling memacu, menancap gas tak tahu aturan.

Biar sedikit kujelaskan, ini adalah kisah dimana seorang seniman muda yang berkelana pada dunia kejam. Mencoba untuk mencari warna diantara gelapnya kehidupan desiran angin. Menjajakan lutut pada semen berbalut lumut, setidaknya demi mengganjal perut dengan butiran-butiran benda basi yang tidak berguna.

Lelaki jangkung dengan penampilan sederhana berjalan dengan tas tentengan penuh dengan berbagai cat dan juga kuas. Surai coklatnya melambai-lambai memanggil para mulut agar ikut menyapa. Netra emerald yang bersinar konon katanya bisa menghipnotis kalangan gadis ketika bersitatap dengannya. Jangan lupakan senyum licik memamerkan deretan gigi putih menawan layaknya keramik lantai.

"Eren! Lo sekarang dimana sih? Gue daritadi nyariin Lo di apartemen nggak ada,"teriak orang diseberang panggilan.

Lelaki bernama Eren itu tersenyum kala mendengar suara sahabatnya yang penuh nada kekhawatiran. Ayolah, Eren itu bukan anak kecil yang harus diperhatiin setiap saat. Dia selalu merasa jenuh, kala mentari menuai dari timur. Kakinya tak bosan jika diajak maraton setiap hari. Bahkan Eren kerap kabur ke luar negeri demi menuntaskan kepuasannya dalam dunia seni.

"Lo udah kayak emak-emak Min. Sekali-sekali pergi jalan sama teman Lo, jangan Gue mulu yang dijadikan teman seperjombloan apalah namanya,"ungkap Eren membuat orang yang sedang berbicara padanya hanya bisa menghela nafas panjang.

Bagaimana bisa Armin betah berteman dengan lelaki aneh bernama Eren itu. Lelaki tidak tahu diri yang merasa dirinya sudah baik dan mengatakan bahwa dia tidak suka bersama dengan orang jomblo. Memangnya dirinya itu tidak jomblo apa? Percayalah, jika itu orang lain pasti sudah lama orang itu gantung diri karena tak kuat menghadapi sikap Eren.

"Lain kali kayaknya Gue harus beliin Lo cermin Ren, supaya bisa ngaca! Lo ngatain Gue jomblo, emang situ nggak jomblo?"

"Cih, Orang Gamteng mah bebas. Lo kalau iri bilang Min, daripada Lo beliin Gue cermin mending beliin Gue kanvas supaya bisa melukiskan ketampanan yang tiada bandingnya ini,"kata Eren yang panggilannya langsung diputuskan oleh Armin.

Eren tertawa, lalu menatap air mancur yang ada di depannya. Sip! Tempat yang sangat pas untuk melukis dengan suasana yang cukup tenang.

"Huh, untung aja Armin nggak ikut. Ribet hidup Gue ngurusin tuh anak,"gumam Eren sambil mengeluarkan perkakasnya.

Kuas demi kuas berjejer rapi di tempatnya. Botol-botol cat saling merapat demi mendapatkan perhatian lebih dari si pemilik. Kanvas kecil berbentuk persegi ia pasang pada easel stand yang sudah terduduk manis dihadapannya. Dengan segenap hati, ia mulai membuka cat-cat tersebut. Dipandanginya kanvas putih polos itu.

"Oh iya, Gue emangnya mau ngelukis apaan yah?"tanya Eren pada dirinya sendiri sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Jangan pernah tiru kelakuan bodoh Eren, setidaknya kalian harus punya plan terlebih dahulu sebelum melukis bahkan melakukan sesuatu.

Karena otaknya yang sedang tidak bisa di ajak bekerja sama, Eren membuka ponsel pintarnya dan mecoba mencari referensi-referensi terbaik. Ketika dunia bisa ada digenggaman kita, kenapa jiwa selalu menyusun ribuan alasan untuk tidak maju? Jika kalian bisa berkata bahwa dunia itu kejam, seharusnya ada bukti dibalik kata-kata itu bukan?

Brak

Semua yang sudah Eren susah payah susun dengan rapi, sekarang terlihat menggelindingkan di keramik-keramik batu. Membuat lelaki tampan itu memasang seribu kerutan, dan siap mengeluarkan suara teriakan penuh umpatan.

"U-uh sorry, i didn't mean it,"kata seseorang yang menjadi pelaku utama kerusuhan para perkakasnya. Eren terdiam sejenak, sambil memandang ke arah bawah.

Entah kenapa semilir angin seolah-olah berbisik di telinganya. Memacu detak jantung agar bisa menjadi lebih tenang. Tangan kekarnya menggenggam erat kuas yang tidak punya salah apa-apa.

"Permisi, Gue nggak bicara sama angin kan? Lo nggak papa kan? Apa kuas-kuas ini ada bikin Lo luka?"tanya orang itu dengan nada tidak sabaran. Namun satu yang sangat menarik, suara lembut tapi dingin itu- berhasil membuat Eren terbatu.

Dengan setengah keberanian, Eren mengangkat kepalanya- mencoba untuk menatap gadis sok yang berbicara padanya. Iris Emerald milik Eren dan iris hitam onyx milik gadis itu saling menangkap bayangan. Mencoba mencari kebenaran yang tersembunyi dibaliknya.

Setelah seperkian detik, Eren mengalihkan pandangannya dan mulai mencibir kesalahan sang gadis. "Lain kali kalau jalan tuh pakai kaki, lihat pake mata! Lo nggak tau nih cat sama kuas harganya berapa?"

Gadis itu ikut berjongkok, membantu Eren membereskan barang-barang yang dijatuhkannya. "Yah Gue kan udah minta maaf. Maafin aja nggak bisa yah?"

Dengan senyum misterius, Eren menatap gadis itu- dan tentu saja membuat si gadis merinding. "Kenapa Lo senyum-senyum gitu?!"

"Yee, soms banget Lo. Minta maaf kok gitu, nggak ada akhlak banget,"cibir Eren merebut salah satu kuasnya yang ada di tangan gadis tersebut. Eren berdiri, lalu kembali menyusun perkakas-perkakas tercintanya. Rencananya melukis disini tetap akan berlangsung pada hari ini juga!

"Lo mau dimaafin atau enggak nih?"

Gadis itu menatap tidak suka, tangannya mengepal kuat; seakan-akan siap memberi hadiah pada wajah lelaki di depannya. "Lo maunya apaan sih? Ngomong aja, Gue nggak suka Lo pake bawa-bawa alasan dimaafin apa nggak."

Eren menghela nafas, mencoba duduk dipinggiran kolam air mancur tadi. Kedua tangan kekarnya dijadikannya tumpuan untuk tubuhnya yang besar. Ia menyuruh gadis itu untuk ikut duduk di sampingnya. "Duduk dulu, ngomong santai aja sama Gue."

Perintah Eren bagaikan sihir, gadis itu menurut mengikuti alunan suara serak lelaki yang baru dijumpainya itu. Dengan manis, ia duduk disebelah Eren. Tangannya sibuk memainkan ujung bajunya. "Kalau boleh tau, nama Lo siapa? Kenalin Gue Eren."

Gadis itu menatap jijik Eren, siapa yang nggak jijik baru kenalan beberapa menit yang lalu masa udah ngajak kenalan. "Abang ngelarang Gue kenalan sama cowok asing."

"Lo yakin Gue itu cowok asing?"tanya Eren lagi-lagi tersenyum misterius.

Dengan segala keyakinan, Mikasa mengangguk mantap. "Yakin Gue, pake banget!"

"Yah elah, Abang Lo juga nggak ngelihat. Kenalan aja ih, masa nggak ma-"

"Mikasa,"sela gadis itu. Eren mengerjapkan matanya beberapa kali.

"Ya?"

"Budeg Lo, nama Gue Mikasa,"jawab gadis itu.

Eren mencoba mengingat nama itu baik-baik; Mikasa, nama yang indah bagai permata di timbunan uang, bagai setitik nadi di padang pasir. "Abang Lo nggak bakal marah kan?"

Mikasa mengendikkan bahunya. "Kan Lo bilang tadi Abang Gue nggak bakal ngelihat."

"Iya juga sih."

"Jadi, fungsi Lo kenalan sama Gue apa?"tegas Mikasa dengan posisinya yang sedikit lebih santai dari sebelumnya. Apakah itu pertanda nyaman?

"Oke, jadi fungsinya. Lo mau kan jadi model lukisan Gue?"

Mendengar pernyataan Eren membuat Mikasa menganga ditempat. "Maksud Lo?"

"Ish, Model Lukisan! Gue ini seniman terkenal, dijamin deh Muka Lo nggak bakal hancur!"

"Hehhh?!"

Terima kasih atas masukannya Eren, mulai saat itu Mikasa berjanji akan lebih berhati-hati saat sedang berjalan dan bertemu dengan orang asing.

His Painting - EreMika✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang