Tentang kepergian.

31 2 0
                                    

Setelah menyelesaikan tugas kuliahnya, Ara langsung menyiapkan sepiring nasi lengkap dengan lauk-pauk beserta segelas susu cokelat hangat yang sudah tertata rapi di nampan.

Langkahnya dengan hati-hati melangkah menuju kamar yang beberapa hari ini selalu tertutup rapat, menyembunyikan raga yang terus menangisi kepergian sosok kekasih yang tak pernah dia sangka akan meninggalkannya bersama anak perempuan semata wayangnya.

Bahkan tepat setelah Ara memasuki kamar mamanya, netranya langsung menangkap kehadiran mama yang sudah terduduk di depan cermin dengan tatapan kosong.

"Ma, Ara bawain makan malam nih" ujarnya sembari mendekati wanita paruh baya itu.

Bisa terlihat jelas bagaimana mama mencoba untuk menyembunyikan sedihnya, senyum tipuan yang selalu dia pasang bahkan terlihat lebih menyedihkan bagi Ara.

Beberapa suap makanan berhasil dia paksa masuk kedalam mulutnya, sebelum dia mendorong pelan sepiring nasi yang belum sepenuhnya habis dari hadapannya, "Mama udah kenyang, Ra".

Setidaknya ada beberapa suap makanan yang dia telan, batin Ara.

Dengan cekatan Ara langsung membereskan bekas makanan mama dan membawa piring bekas tersebut untuk dia cuci bersih.

"Ra, nanti tidur sama mama ya. Mama udah lama nggak tidur sama kamu" Pinta mama yang Ara jawab dengan anggukan seraya menyutujui.

Ara langsung mencuci piring bekas makanan dan mengganti bajunya dengan piyama yang biasa dia gunakan untuk tidur malam dan langsung memasuki kamar Mamanya.

Mama menepuk sisi sebelah kasurnya yang masih kosong, mengisyaratkan agar anak perempuan semata wayangnya itu berbaring di sampingnya. Lalu tanpa babibu Ara langsung membaringkan diri di samping Mama, menatap tiap lekuk wajah mama yang kini sudah tercipta beberapa garis halus di wajah cantiknya.

"Kamu udah semester 4 kan, Ra".
"Iya, bentar lagi sempro, Ma" jawab Ara dengan antusias.

Mama mengelus pelan puncak kepala Ara, sudah lama dia tidak bercengkrama sedekat ini dengan anak perempuannya semenjak kepergian suaminya.

"Dulu papa seneng banget waktu tau kamu diterima di kedokteran, Papa bilang ke temen kerjanya di rumah sakit kalau kamu bakal nerusin pekerjaan papa jadi dokter".
"Kalau mama bangga nggak sama Ara?".
"Pasti dong, kamu nggak pernah gagal buat banggain mama, Ra".

Mama langsung mendekap tubuh kurus Ara, menyalurkan kehangatan yang masih tersisa.

Anak kecil yang dulu menangis karena terjatuh dari pasir kini sudah tumbuh menjadi wanita dewasa yang memiliki senyum indah.

Dia tumbuh dengan sempurna, mengabulkan tiap pinta orang tuanya tanpa mengeluh, bahkan dia selalu memberikan hadiah-hadiah kecil yang tak pernah mereka bayangkan akan terjadi sebelumnya.

"Ra"
"Apa Ma?"
"Kamu tau tante Arin yang punya pondok pesantren?"
"Tau, kenapa?"
"Mama kemarin ketemu sama tante arin, dia tanya-tanya soal kamu. Tentang sekolah kamu, tentang kamu udah punya pacar atau belum"
"Intinya?"
"Tante Arin nawarin buat jodohin kamu sama Adit, anak sulungnya. Mereka bisa biayain sarjana kamu bahkan sampai spesialis, Ra".

Mama tidak bisa berbohong jika merasa kesulitan secara finansial setelah kepergian suaminya.

Bukan maksud untuk menggadaikan anak perempuannya dengan iming-iming uang, wanita tua itu hanya ingin anak perempuannya menyelesaikan studi yang sudah menjadi mimpi sang suami sedari dulu.

"Ma, Ara nggak faham" ujar Ara seolah denial, dia tidak bisa menerima maksud dari omongan Mama. Matanya mencoba menelisik kebohongan yang mungkit tersirat dari sorotan mata mama namun hasilnya nihil.

"Ma?"
"Ra, mama udah usaha pakai uang  simpanan papa. Tapi sama aja, Ra"
"Ara bisa kuliah sambil kerja, Ma"
"Ra, mama tau kuliah kedokteran nggak se-senggang itu sayang. Mama juga malu harus kayak gini ke kamu, tapi mama lebih malu lagi ke papa kalau kamu nggak bisa lanjutin studi kamu"
"Mama pernah bilang ke Ara kalau pasti ada jalan buat orang yang percaya dan mau berjuang, kan?"
"Mama cuman mau realistis Ra. Mama tau kamu punya niat buat kerja pas liburan semester besok, tapi buat bayar semesteran itu butuh uang yang banyak, Ra. Dua hari lagi Adit pulang dari Kairo, temui dia ya, Ra"
"Ara masih nggak faham sama pemikiran mama" telak Ara yang lalu meninggalkan Mama sendirian, dia mengurungkan niatnya untuk tidur bersama Mama karena kesalahfahaman yang baru saja terjadi.

Ara masih tak bisa menerima bagaimana Mama dengan mudah menyerah dengan keadaan dan membiarkannya menikah dengan seorang lelaki yang tidak dia kenal sama sekali.

Wanita itu membanting pintu kamarnya dengan keras seolah melampiaskan kekesalannya, semua terasa sangat sulit setelah kepergian Papa.

Ratusan andai kini menghantui otaknya.

Andai papa masih hidup, pasti kini mereka sedang tertawa sembari membahas beberapa soal evaluasi blok bersamanya sampai malam atau hanya sekedar menebak bagian dari awetan yang Ara foto melewati mikroskop saat di lab histologi.

Lagi-lagi Ara menangis di tengah sunyinya malam, menahan isakan yang dia benci karena menandakan jika dirinya lemah, memukuli dada yang selalu sesak saat mengingat tawa lelaki yang selalu tersenyum dengan hal kecil yang dia lakukan.

Pa, Ara rindu.

Assalamualaikum MasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang