Malam adalah peraduan antara lelah dan telah. Bapak baru saja sampai di rumah ketika semesta menunjuk angka delapan untuk menemani perjalanannya. Seraya beristirahat, Sugiri memanggil Naya yang mungkin sedang sibuk tidak melakukan apa-apa di kamarnya untuk membuatkannya teh manis.
“Nay, lagi belajar nggak?” teriak Bapak.
“Nggak, Pak,” jawabnya.
“Bikinkan Bapak teh, Nay.”
“Iya, Pak.”
Naya memang paling tidak bisa menanti-nantikan suruhan dari Sugiri. Meski pun di kamar ia sedang nyaman-nyamannya dengan lagu dan bantal guling, ketika suara berat itu memanggilnya, ia langsung berdiri dan pergi ke dapur untuk membuatkannya teh manis.
“Ini, Pak,” ucap Naya sambil menyodorkan satu gelas teh manis dan duduk di sebelah Sugiri.
“Terima kasih.” Setelah seteguk, laki-laki berusia setengah abad itu menarik napas panjang, lalu tersenyum ke arah Naya. “Bapak dengar, kamu sudah punya gandengan, Nay?”
Sambil menunduk malu-malu, Naya menjawab, “Iya, Pak.”
“Siapa namanya? Nggak akan dikenalkan ke Bapak, gitu?”
“Ah, nanti kalau Naya kenalin ke Bapak, gandengan Naya malah kabur.”
“Berarti dia nggak pantas buat kamu. Masa sama calon orang tuanya takut.”
“Habis Bapak nyeremin, sih.”
“Ah, seseram-seramnya Bapak ... Bapak, mah, yakin kalau ada orang yang serius sama kamu, dia nggak bakalan lari dari Bapak.”
Naya diam sebentar. Di kepalanya tiba-tiba timbul pertanyaan seperti: lari tidak, ya, Damara jika ia kenalkan ke Bapak?
“Namanya Damara, Pak,” ucapnya.
“Damara? Damara yang kata kamu aneh itu?”
“Ya.”
“Bapak jadi semakin penasaran. Kalau kamu bisa menerima manusia aneh seperti Damara, berarti orang itu istimewa.”
“Dia benar-benar orang yang aneh, Pak. Kalau lagi dekat-dekat sama dia, Naya berasa jadi perempuan paling sempurna.”
“Oh, ya?”
“Iya, Pak. Damara benar-benar baik.”
“Bapak jadi semakin penasaran, Nay.”
“Tapi, dia juga suka ilang-ilangan.”
“Segera kenalakan ke Bapak, Nay.”
“Iya, Pak.”
***
Di hatinya sedang banyak resah-resah. Sepertinya sekali lagi nalar sedang bercanda dengan ragu-ragu. Semestanya hanya sedang takut jika seseorang yang sedang tersenyum di depan pintu hatinya pulang menjauh.
Bukan, bukan seperti semua kesalahan berada padanya. Bapak memang orang yang setegas itu. Ia hanya takut jika laki-laki yang sedang berjuang untuknya saat ini berhenti karena Bapak. Ia mafhum sebenarnya. Pun, itu adalah demi kebaikannya. Namun, satu sisi di lain tempat di dalam hati Naya, ia suka kesal terhadap Bapak.
Di sepertiga malamnya, ia berdialog dengan yang memiliki semesta. Pada hening itu riuh sekali dengan harapannya. Ia percaya kepada Damara. Ia akan percaya kepada Damara jika Bapak bukanlah rintangan yang sulit untuknya. Mengingat apa yang sedang ia perjuangkan untuk merasa pantas bersanding dengannya, ia yakin Damara adalah manusia paling jagoan di semestanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
andai, jika
Любовные романыKita seperti gelap dan terang. Yang saling menenggak jarak, mencari-cari sebuah kepantasan antara manusia paling tidak memiliki dan dicintai. Perpisahan kita bukan milik selamanya. Namun, akan kupastikan jika selamanya adalah milik kita.