iii.iii. mei 2015: pertaruhan

96 20 26
                                    

Semalaman penuh sepertinya tidak akan cukup untuk mengenang seluruh langkah-langkah yang sempat kita tuai mengikuti rasa-rasa yang sempat menyimpang memilih jalan, yang sempat saling membelakangi karena ketetapan, namun siapa yang pernah menyangka jika semesta menginginkan akhir dari kita dengan senyuman.

Setelah ...  apa yang mungkin ia lakukan kepada sepasang manusia yang sempat ia bercandakan ketetapannya, sial. Sepertinya Sang Maha Mengetahui apa pun tadinya nyaris saja membuat akhir dari sebuah perjalanan sambil menangis.

“Kamu tahu? Sebenarnya aku itu takut ketika kamu datang.”

“Loh, kenapa?”

“Kamu tahu, 'kan, kalau rumah dari segala pertemuan itu adalah kepulangan?”

“Ya, sepertinya begitu.”

“Tapi, ada yang lebih aku takutkan tahu.”

“Apa?”

“Jujur aja, ya. Dulu aku sempat ragu sama kamu. Aku malah lebih takut kamu nggak nemuin rumah buat rasa kamu bisa pulang. Banyak yang aku takutin ketika kamu memilih buat munggungin aku ketika aku teriak memanggil namamu.”

“Maaf.”

“Nggak apa-apa."

“Yang penting kamu tahu jalan di mana sebenarnya rumah kamu buat pulang.”

“Terima kasih.”

Pun, yang pahit-pahit pada akhirnya akan tersenyum ketika tiba waktunya. Manusia adalah makhluk yang paling senang mengenang. Manis asamnya segelintir perjalanan, rumah yang akan menyambut mereka adalah lapang.

***

Entah bagaimana caranya semesta bisa memberikan ketetapan seperti jarum di setumpukan jerami. Sedang ia bukanlah satu-satunya manusia yang bisa berjalan. Banyak doa-doa. Banyak dosa-dosa. Banyak orang-orang berdosa yang cepat sekali dikabulkan doanya. Ia tidak pernah bisa memahami bagaimana perhitungannya. Salah satu ketidakadilan paling memuakkan yang tidak bisa manusia luruskan adalah kenapa ketetapan yang baik-baik saja selalu berpihak kepada mereka yang tidak perlu banyak berjuang? Sial.

Sejak pertemuan terakhirnya dengan Naya, laki-laki itu selalu saja ditanyai olehnya kapan ia akan bertemu dengan bapak. Mungkin sudah ada sepekan lebih. Bukan karena ia takut untuk menemui bapak. Hanya saja, di kepala Damara seperti sedang ada perdebatan antara batas penerimaan dan tahu diri.

Ia hanya tahu batasan. Orang kecil sepertinya mana pantas memiliki gadis beruntung yang serba berkecukupan. Meskipun gadis itu selalu bisa menerima kepulangannya dengan lapang, pasti berbeda lagi dengan orang yang selama ini bekerja keras membesarkannya. Tidak mungkin ada seorang bapak yang akan menyerahkan tanggung jawab anaknya kepada orang lain asal-asalan.

Damara mengambil napas panjang, lalu membuangnya perlahan. Tidak Damara, ia menggelengkan kepalanya seraya memukul kedua pipinya beberapa kali agar tersadar dari nalar yang sedang usil dan tidak punya kerjaan. Kamu hanya perlu berjuang saja, Dam. Berjuanglah. Berjuang saja.

“Kamu mau ke mana, Dam? Pagi-pagi udah rapi, gini? Bukannya akhir pekan kamu libur, ya?” tanya Ibu ketika melihat Damara duduk di ruang makan.

“Damara punya sedikit kewajiban di luar, Bu,” jawabnya.

“Kewajiban apa, Kasep?”

“Nanti Damara bawa pulang setelah Damara bisa memilikinya, ya, Bu.”

Sang ibu hanya tersenyum, lalu memberikan Damara secangkir teh sebelum ia bergegas.

“Damara cuma mau minta satu hal ke Ibu.”

andai, jikaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang