iii.iv. mei 2015: hampir runtuh

122 17 13
                                    

Bahkan sampai perasaannya pun tak bisa tenang. Perkara kehilangan yang tiba-tiba, dan rumah yang bingung bisa menerima kepulangan atau tidak jika mereka pergi tanpa kabar dan kepastian ... pada akhirnya, semua yang diam tidak akan mudah dimengerti. Bagaimana bisa nuraninya mafhum jika garis panjang tak berkesudahan di atas lautan karena bulan pada malam tidak akan pernah abadi jika ia tidak berbicara?

Semua yang diam adalah hal paling menyeramkan pada dunia. Mereka yang tidak punya suara, mereka yang tidak punya bahasa, mereka yang tidak mengenal kata pamit, adalah pengacau rasa. Entahlah yang pura-pura, atau sesungguhnya.

“Loh, Pak, di mana Damara?” tanya Naya.

Naya, garis itu kebingungan. Saat ia kembali dengan dua cangkir teh dan beberapa potong kue di atas piring yang ia bawa dengan nampan di genggamannya, gadis itu tidak melihat Damara sama sekali. Memangnya ke mana perginya laki-laki itu? Apa Damara sedang memakai kamar mandinya di belakang? Atau memang ianya saja yang terlalu lama di dapur? Sial.

“Pak ...,” ucapnya pelan dengan Nada bergetar.

“Dia pulang, Nay. Damara memilih untuk pulang.”

“Pulang?” Naya mengembuskan napas panjang, “Damara yang pulang atau Bapak yang nyuruh Damara pulang?”

“Kalau iya, memangnya kenapa?” tanya Sugiri.

“Kenapa, sih, Bapak selalu seperti ini? Kenapa Bapak selalu membuat laki-laki yang mau berjuang buat Naya menyerah?”

Sugiri menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “Nay, dengar ... kamu masih muda. Kamu masih harus menuntaskan sekolah kamu. Jalanmu masih panjang, Nay. Jangan terlalu buru-buru. Mau Damara pulang atau ada di sini, semua itu tidak akan berubah secepat yang kamu kira, bukan?”

“Tapi, Pak ....”

“Tapi, apa?”

“Damara yang sudah paling berani menemui Bapak demi Naya. Bahkan dia tidak takut sama sekali. Damara sangat menghargai Bapak sebagai orang tua Naya, Pak.”

“Ya, Bapak tahu. Tapi, memangnya Damara itu sepenting apa, sih, bagi kamu, Nay?”

Naya mengembuskan napas gusar.

“Damara adalah orang yang sangat penting di hidu Naya. Naya mencintainya, Pak,” ucap Naya sambil sedikit menyeka air matanya yang berhasil meloloskan diri dari pelupuk matanya.

Sang bapak sedikit terkejut dengan apa yang dikatakan putri satu-satunya itu. Ia rasa, kali ini ia benar-benar menemukan ketulusan pada sepasang mata Naya

“Apa kamu yakin, Nay, jika Damara adalah orang yang tepat bagi kamu?”

“Naya yakin, Pak. Yakin sekali.”

Sugiri mengangkat salah satu sudut bibirnya ke atas. “Kalau kamu yakin Damara adalah orang yang tepat untuk kamu, seharusnya kamu percaya saja kepadanya jika waktu kalian sudah tiba. Jangan karena hasrat semata, kamu jadi lupa akan cita-cita kamu yang dulu selalu kamu banggakan kepada Bapak. Kalau kamu merasa Damara memang laki-laki yang baik untukmu, seharusnya dia bisa menunggu untukmu. Dia akan kembali padamu. Kamu hanya perlu menunggu. Dan percaya padanya.”

“Tapi, Pak ....”

“Tapi apalagi, Naya?”

“Nggak bisakah Bapak nerima Damara dari sekarang?”

“Untuk apa, Nay?”

“Untuk perasaan Naya, Pak. Apa Bapak tahu perasaan Naya sekarang gimana? Sakit, Pak. Ngeliat orang yang Naya cintai Bapak usir gitu aja. Sulit, Pak. Sulit sekali buat bisa bertemu sama Damara,” ucapnya dengan hujan yang turun kecil-kecil dari sepasang mata cantiknya.

“Buktikan kepada Bapak kalau Damara memang pantas buat kamu Naya.”

“Gimana caranya, Pak? Tujuan Naya bawa Damara ke hadapan Bapak memang untuk itu. Terus Naya harus ngapain lagi?”

“Suruh Damara memikirkan caranya.”

Setelah itu, Sugiri tersenyum lalu mengusap puncak kepala Naya pelan dan berlalu begitu saja tanpa berkata apa-apa. Sial, kenapa semuanya harus berakhir seperti ini? Kenapa semuanya harus berhenti ketika perjalanan sedang rindu-rindunya? Semesta ... hatinya tidak tahu. Pun, dengan rasa-rasanya yang bingung harus berakhir di mana, pada akhirnya jawaban itu tidak pernah datang.  Resah-resah itu pasti selalu membuatnya bingung untuk menemukan langkah selanjutnya.

“Damara ... aku percaya sama kamu kalau kamu tahu jalan untuk kembali pulang. Jangan sampai menyerah, Damara. Jangan menyerah.”

Pun, begitulah doanya.

***

Ia tahu, dari awal risiko yang harus ia terima menjadikan Naya sebagai gadisnya adalah diremehkan. Entahlah untuk apa. Mungkin untuk ketetapan, mungkin untuk perbedaan, atau bisa saja karena laki-laki ini adalah manusia kecil, bermimpi untuk mendapatkan gadis seperti Naya sepertinya masih terlalu tinggi untuknya.

Ia hanya tidak menyangka saja jika Sugiri memang sesulit itu untuk ia pahami nalarnya. Ia kira, setidaknya ia akan sedikit diterima. Sepertinya sulit bagi mereka yang sudah terlalu tinggi untuk menerima kehadiran sepasang jejak sandal jepit di antar tapak-tapak pantofel itu.

Damara menarik napas perlahan, lalu membuangnya dengan dada yang gemetar.

“Aku tahu ini sulit. Aku juga tahu ini akan sedikit sakit. Tapi, kenapa sesaknya tidak bisa kutahan, ya? Rasanya benar-benar menyebalkan.  Padahal, tadi aku bersikap dengan begitu sok-nya di depan Bapak,” ucap Damara dengan senyum getir nampak dari wajahnya.

Setelah memilih untuk bertolak dari rumah Naya, Damara tidak langsung pulang. Laki-laki itu sedang duduk di salah satu bangku taman pinggiran Jalan Braga. Saat siang, tidak terlalu ramai orang berlalu-lalang di sana.

Damara melentangkan kedua tangannya di atas sandaran bangku dan memejamkan kedua matanya kala itu. Lalu, ia membukanya perlahan dan tepat memandang biru-biru yang telihat sedang senang bercanda dengan awan-awan itu yang tidak mungkin bisa ia jangkau.

Hei,semesta apa mungkin aku bisa duduk di atas awan yang tinggi itu agar bisa bercerita lebih dekat tentang kesal-kesalku padamu?

Kenapa?

Itu karena kamu, ketetapanku tidak adil. Andai saja kamu membuatku sedikit lebih tinggi kedudukannya pada dunia, mungkin semua ini tidak akan terjadi. Hatiku tidak perlu resah dan pasti ibuku tidak perlu menunggu lebih lama lagi.

Kenapa?

Itu karena kamu terlalu main-main dengan hidupku. Kenapa orang yang selalu berjuang keras sepertiku harus melulu kalah dengan mereka yang tinggal membalikkan telapak tangan?

Lalu?

Lalu aku tidak tahu harus bagaimana sekarang. Dari dulu kepalaku sudah tahu kalau hal ini akan segera datang terjadi. Akan tetapi, hatiku tetap saja bersikeras dan berkata kalau aku tidak boleh menyerah.

Memanganya akan?

Jika saja aku tidak keras kepala.




andai, jikaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang