Rob melepas jaketnya lalu melemparnya ke sembarang arah. Ia menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang yang nyaman sebelum akhirnya meraih ponsel, menghubungi Rai.
"Aku baru saja pulang, bisa kau datang sekarang? Aku butuh cola, atau apa pun yang kau punya, bawa saja," ucap Rob.
Hening, tak ada jawaban dari seberang.
"Rai? Kau ada di sana?"
"Y-yeah, aku di sini." Akhirnya Rai menjawab.
"Bagus, cepatlah datang," pinta Rob.
"Baiklah, aku ke sana sekarang."
Rob menutup panggilan dan menyingkirkan ponselnya ke tepi ranjang. Ia lelah, amat lelah. Namun ini semua tampak masih jauh dari kata berhenti. Faktanya, Rob bahkan berpikir bahwa tak akan ada habisnya semua ini.
Ia masih punya banyak jadwal panjang yang harus dijalani besok, dan besoknya lagi, dan besoknya lagi, mungkin hingga beberapa minggu ke depan. Semua ini terasa begitu menyiksa. Ia tak menikmatinya sama sekali. Dan bukan karena kelelahan fisik yang dirasakannya sehingga ia merasa tersiksa sampai harus mengonsumsi semua obat-obatan itu.
"Rob?"
Terdengar suara Rai memanggilnya. Rob tersadar dan bangkit dari tempat tidurnya, melangkah melewati pintu kamar yang tadi tak ditutupnya dan sampai di ruang tamu di mana Rai kini telah menunggu.
"Hei." Rob tersenyum tipis, hatinya sedikit merasa lega ketika melihat kedatangan Rai. Namun tak seperti biasanya, Rob kini tak melihat ransel ada di punggung gadis itu. Padahal ia selalu membawa ransel untuk menyimpan semua barang-barang serta hasil transaksi, kan?
"Rob, aku ... harus mengatakan sesuatu padamu." Rai tampak takut-takut melangkah mendekatinya. "Aku kira aku tak bisa lagi menjual obat-obatan itu padamu."
Senyum tipis Rob seketika lenyap, ekspresi wajahnya berubah bingung.
"Kenapa? Apa maksudmu? Kau sedang kehabisan barang dan belum mengambilnya dari temanmu atau bagaimana?" tanya Rob bertubi-tubi.
"Tidak, bukan begitu." Rai menggigit bibir. Sesaat kemudian dipandangnya sepasang mata Rob dengan begitu cemas. "Aku ... tidak ingin menjualnya lagi padamu, aku harap kau akan berhenti dari semua itu."
"Apa?!" Kini ekspresi Rob berubah kesal, tetapi bukan jenis kesal yang sama ketika Rai bertingkah menyebalkan, kesalnya kali ini sungguhan. "Kenapa kau jadi begini, huh?! Kau mau membunuhku?!"
"Rob, justru aku tak ingin sesuatu yang buruk terjadi padamu," balas Rai, mencoba menjelaskan agar Rob mengerti. "Kita tahu semua obat-obatan itu berbahaya, kan? Aku tak ingin kau memakainya lagi-"
"Aku membutuhkannya!" bentak Rob, membuat Rai tersentak.
"Rob, aku mengkhawatirkanmu ...." Tangan Rai gemetar dan berniat menyentuh wajah Rob tetapi langsung ditepis olehnya.
"Kau tidak tahu apa-apa soal diriku, Rai," ucap Rob dingin. Dipandangnya Rai dengan kekecewaan yang tak berusaha ia sembunyikan dari sepasang matanya. "Jika kau tak mau menjualnya padaku, aku akan membelinya dari drug dealer yang lain saja."
Rob melangkah pergi meninggalkan Rai, kembali ke kamarnya dan menutup pintu rapat-rapat. Sementara Rai hanya bergeming, setetes air mata jatuh dari sudut matanya dan dengan berat hati ia melangkahkan kaki, keluar dari rumah itu.
Perasaannya untuk Rob saat ini sungguh sulit dijelaskan. Semuanya begitu tiba-tiba. Hatinya berteriak agar ia benar-benar berhenti memberikan semua obat-obatan itu pada Rob, tetapi Rob justru tak peduli, ia telah jatuh terlalu dalam ke jurang candu dan tak ada yang bisa menghentikannya. Bahkan jika Rai tak mau lagi menjadi drug dealer-nya, masih banyak drug dealer di luar sana yang punya lebih banyak barang dan bersedia menjualnya pada pelanggan seperti Rob.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear, Drug Dealer (TAMAT)
عاطفية"Love is a drug, and you ... are the dealer." -Rai Misaki- --- Setelah di-drop out dari kampusnya akibat aktivisme feminis yang ia lakukan, Rai Misaki meninggalkan Jepang dan menjalani hidupnya sebagai imigran gelap di Inggris dengan menjadi pengeda...