Semuanya bermula dariku yang terlalu permisif melihat kedekatan anak dan suamiku. Aku pikir semuanya baik-baik saja. Aku pikir karena rasa sayang suamiku yang terlalu dalam padanya, seperti halnya aku yang juga teramat mencintai Raya sehingga membuatku tak menaruh rasa curiga pada apa yang terjadi di antara mereka.
Sampai di suatu malam, pukul dua dini hari, aku terbangun dari tidur, hendak ke toilet. Kusisir pandangan ke arah remang ruang keluarga, di mana mereka biasa gunakan untuk menonton film box office berdua hingga larut.
Sayangnya malam itu, aku menyaksikan pemandangan yang sangat sulit kuterima sebagai sebuah kenyataan. Mereka berpagut penuh gelora, bercumbu penuh nafsu, layaknya sepasang suami istri mencurahkan cinta dan gairah.
Pemandangan itu seperti sebuah belati yang tiba-tiba dilempar dan menancap tepat di dadaku. Aku sakit, namun juga mendidih. Segera kutunjuk-tunjuk wajah mereka berdua penuh murka. Mereka terkejut bukan kepalang, melepaskan pelukan dan saling berdiri di hadapanku dengan salah tingkah.
Satu minggu, dua minggu, satu bulan. Mereka masih berada di dalam rumah ini. Mengharap ada penyesalan, lalu salah satunya pergi meninggalkan tempat ini. Sayangnya aku terlalu naif. Yang ada malah permintaan tak masuk akal dari wanita kecil yang aku besarkan dengan gelimang cinta dan materi ini.
"Please, Bun. Aku tahu menurut Bunda ini salah. Tapi tolong Bunda ngertiin Ayah dan aku. Aku capek kalau harus kucing-kucingan dari Bunda. Aku sudah nggak bisa menutupi hubunganku dengan Ayah. Daripada aku terus berzina dengan Ayah. Lebih baik aku jujur sama Bunda lalu menikah dengan Ayah. Agar tak semakin larut, Toh Agama juga tak melarang." ucap Raya penuh keyakinan.
"Aku bukan darah daging Ayah, aku cuma anak angkat di rumah ini. Dan kami sudah saling mencintai. Bunda juga ingin punya anak dari darah daging Ayah kan? Tapi kenyataannya Bunda mandul. Jadi apa salahnya jika Aku menikah dengan Ayah. Jika kami punya anak bukankah juga akan memberi kebahagiaan untuk Bunda?" lanjutnya panjang tanpa perduli bagaimana hancurnya perasaanku saat itu.
Aku tak pernah mengajarinya berkata kasar, tapi bahkan aku orang pertama yang merasakan betapa menyakitkan perkataan itu keluar dari mulutnya. Setiap kata laksana peluru yang terus menghujani jantungku. Sementara laki-laki itu, laki-laki yang kukira setia dan mencintaiku seutuhnya itu, dia hanya diam seribu bahasa menatap perdebatan ini dari sudut ruang. Pengecut tak punya nyali tapi beraninya bermain api!
Aku bungkam, tak menjawab permintaan gadis delapan belas tahun ini. Kata-katanya hebat, seperti sebuah kebenaran yang mengunci logika dan nalar agar aku tak bisa menjawab apa-apa lagi selain menyetujuinya. Sangat pantas dia aku masukkan kuliah di Fakultas Hukum Universitas terkemuka di negeri ini. Baru satu tahun kuliah, kata-katanya sudah mampu meruntuhkan dinding-dinding hatiku.
Bahkan suatu kebusukan bisa dia bungkus dan kemas menjadi sebuah kata-kata manis di dengar, seperti sebuah kado dan harapan baru untukku.
Akan bisa memberi anak dari darah daging suamiku, katanya? Hebat iming-imingnya. Pegkhianatan tidak hanya dari satu orang, tapi bahkan oleh dua orang yang kehidupannya paling aku jamin dan paling dekat di hatiku. Apa lagi yang lebih perih dan berdarah-darah dari ini?
"Kamu bisa-bisanya mengajukan permintaan kepada orang yang bahkan paling tersakiti melihat pengkhiantan kalian! Aku diam sejauh ini, bukan untuk mendengarkan apa yang kamu katakan sekarang. Aku bungkam untuk melihat sejauh apa penyesalan kalian. Kalian asusila di rumah ini. Kalian berselingkuh dari orang yang memberi hidup enak untuk kalian. Aku pikir setelah kalian terpergok, akan merasa bersalah, meminta maaf, lalu tobat, tapi malah semakin menjadi, meminta restu hubungan gelap kalian kepada orang yang paling benci ini terjadi."
Mataku menatap bergantian kepada dua orang itu.
"Bukan begitu Bun. Aku hanya mencoba membuka sudut pandang Bunda lebih jauh lagi. Bunda semakin tua, Ayah semakin tua. Aku hanya ingin menyelamatkan semuanya. Agar kita bisa tetap satu atap dan berbahagia tanpa perlu saling menyalahkan. Yang terjadi ya sudah biarlah terjadi. Mungkin ini memang rencana Allah. Aku pun sakit karena tak pernah mengharapkan ini akan terjadi. Semua terjadi begitu saja. Aku pun sakit karena harus meninggalkan kekasihku di sana, demi Ayah. Ayah sendiri yang menginginkan punya anak dariku. Yang perlu Bunda pahami, Semua ini juga bukankah karena ada andil Bunda, Bunda yang membiarkan aku terlalu dekat dengan Ayah. Sehingga muncul cinta di antara kita. Bunda yang terlalu sibuk dengna urusan bisnis sehingga melupakan di rumah ini ada dua orang bukan mahrom yang bisa saja terjebak cinta. Dan ini sudah terjadi. Pelase mengertilah Bund. Ijinkan kami menikah."
KAMU SEDANG MEMBACA
CINTA TERLARANG
RomantizmPernahkah kita mendengar kisah cinta luar biasa istri pada suaminya, kasih sayang ibu kepada anak angkatnya? Tapi bagaimana jika terjadi ada cinta terlarang di antaranya? Sanggupkah sang nyonya berjuang mengembalikan rumah tangganya kembali menjadi...