Setiap aku ingin bicara dengan Pijar selalu aja ada yang menghalangi. Bagaimana caranya aku bisa bicara dengan Pijar. Suara handponeku berbunyi, aku lihat layar ponselku nama seorang perawat di rumah sakit tempat Mama dirawat tertera dilayar handponeku. Ada apa? Aku mengangkat teleponku.
"Daru, Mama Kamu tiba-tiba drop." suara perawat di seberang sana membuat jantungku serasa berhenti.
"Cepat ke mari." ucapnya.
"I..Iya..." ucapku lalu berdiri. Aku sedang ada di kampus saat ini. Aku harus cepat ke rumah sakit. Aku berlari ke arah parkir motor. Baru kemarin siang aku bicara ke Mama. Baru aja aku mau menerima Mama kembali... Jangan pergi dulu, Ma. Kumohon... Aku memacu motorku di jalan raya, aku ingin segera sampai di sana. Sesampainya di rumah sakit aku berlari ke ruangan Mama tapi Mama sudah nggak di sana lagi. Seorang perawat menemuiku dan mengatakan Mama di ruang ICU. Aku bergerak ke ruangan ICU. Aku belum boleh masuk, Dokter sedang menangani Mama. Bertahanlah Ma... Aku benar-benar kalut. Dokter keluar dari ruangan, aku mendekatinya. Dokter menggeleng kepadaku.
"Maafkan Kami." ucapnya perlahan, apa artinya ini.
"Ibu Grani sudah tiada." ucapnya, aku menatap Dokter itu dengan tak percaya. Mama sudah tiada, aku terduduk di bangku depan ruangan ICU. Seorang perawat menegurku, aku hanya menatap perawat itu. Mama... Aku nggak tau harus bagaimana, aku menelepon Aksa mengabarkan kabar duka ini. Bagaimana aku harus menghadapi Papa. Aku mengurus administrasi dan mengurus jenazah Mama. Aksa datang ke rumah sakit dan dia menawarkan diri untuk memberitahukan Papa. Aku membiarkan Aksa bicara dengan Papa. Kami membawa Mama ke rumah, Papa yang belum sehat benar ikut pulang. Wajah Papa sangat sedih. Aku hanya bisa diam, Aksa yang lebih tenang dan sigap mengurus ini itu. Bang Raka lagi di luar kota, aku tadi sudah meneleponnya.
Aku duduk di teras halaman belakang, perasaanku tidak karuan. Aksa dan Papa yang mengajakku bicara tidak mendapat respon dariku. Aku sangat malas bicara dan bergerak. Teringat saat Mama meminta maaf kemarin siang sambil menangis. Aku pun ikut menangis dan memeluknya untuk pertama sekali sejak Mama kembali. Meski selama ini aku membencinya aku sadar sangat merindukan pelukan Mama. Pelukan Mama benar-benar membuatku melepas kemarahanku. Tapi... Belum sempat kami bicara lebih banyak, Tuhan sudah memanggil Mama. Satu lagi wanita yang hilang dari hidupku. Pertama Pijar lalu Mama... Aku nggak tau sudah berapa lama duduk di teras belakang. Aksa tidak lagi mengajakku bicara, dia membiarkan aku diam di sini.
"Bang Daru..." suara itu... Ah, itu hanya halusinasiku aja...
"Bang Daru." aku merasakan sentuhan di bahuku. Aku menoleh dan menaikkan wajahku. Pijar? Mataku menatapnya tapi aku hanya diam. Benarkah ini Pijar? Dia melangkah dan berdiri di hadapanku. Mataku mengikutinya.
"Aku..." ucapnya sepertinya bingung harus berkata apa. Aku masih menatapnya dalam diam.
"Maaf, aku baru tau kalau Tante sudah..." ucapannya terhenti, aku berdiri. Mataku terasa panas dan berair lalu aku memeluknya. Pijar membiarkan aku memeluknya, aku memeluknya semakin erat. Ada kehangatan menjalar di tubuhku. Pijar mengusap pelan punggungku, tubuhnya tenggelam dalam pelukanku. Aku merasakan air mataku mengalir. Aku menangis? Hal yang tak bisa kulakukan dari tadi.
"Pijar..." ucapku bergetar, cukup lama aku memeluknya.
"Bang Daru." ucapnya sambil menepuk punggungku pelan. Aku melonggarkan pelukanku lalu melepaskan pelukanku. Aku menghapus air mata di pipiku.
"Maaf..." ucapku pelan, Pijar memegang tanganku.
"Tidak apa-apa." ucapnya, aku mengajaknya duduk. Aku mendekatkan kursiku ke kursinya..
KAMU SEDANG MEMBACA
Sudut Hati
RomanceIjinkan aku menatapmu seperti ini, disisa waktumu ada di sekolah ini. Aku ingin mengisi mata dan pikiranku dengan sosokmu sehingga aku akan mengingatmu selama kuinginkan. Ntah waktu akan membawaku kembali bertemu denganmu atau tidak, aku tak kan mel...