Sebagian besar perempuan menginginkan kecantikan sebagai impian. Perempuan mana yang tidak ingin cantik. Dipuja lelaki mana pun setengah mampus dan hidup akan jauh lebih mudah dengan banyaknya tangan-tangan ramah terulur untuk menolong, sebab sebagian sisi manusia akan luluh sendiri dan tidak akan pernah tega membiarkan perempuan cantik kesusahan.
Namun, pengecualian bagi Alisia Alexi. Kecantikan untuknya adalah kutukan. Lebih banyak kebencian daripada belas kasih yang datang ke kehidupannya. Iri, alasan klise bagi perempuan di sekitarnya untuk merundung Alisia. Hidup di bawah bayang-bayang kekerasan fisik sama sekali bukan cerita dongeng yang bagus.
Akan tetapi, semakin ia tersiksa, anehnya, semakin lapang ruang maaf di hatinya. Dia tidak mengerti mengapa hatinya sulit memberi ruang bagi dendam untuk bersemayam. Justru sebanyak apa pun gangguan yang ia terima, sebanyak itu pulalah kata maaf gratis cuma-cuma ia berikan. Mungkin sudah takdirnya ia menjadi makhluk lemah yang tidak mampu membela diri.
Menghela napas, Alisia berhenti memperhatikan wajah terkutuk yang kini bengkak dan terluka di sudut bibir. Keran di wastafel ia nyalakan. Mulai membasuh wajah pualam miliknya dan lagi-lagi mendesah lelah saat pandangannya menjelajahi setiap inci wajah lewat refleksi kaca satu arah.
Mata hijau itu selalu berkilat lemah. Bibir plum itu jarang menarik senyum. Wajah itu tidak pernah menampilkan bahagia. Satu-satunya hal bagus, ia jarang menangisi nasibnya. Ibunya akan cemas jika melihat Alisia mudah cengeng.
Tentu Alisa tak ingin membuatnya sedih dan mencemaskan Alisa, tapi dalam keadaan seburuk ini, alasan apalagi sekarang yang akan Alisia jadikan tameng. Terjatuh? Ia kerap menggunakan hal itu setiap mendapatkan musibah. Ia tak yakin ibunya akan percaya betapa cerobohnya anak tunggalnya ini yang sering terjatuh, lalu mencurigai anaknya menyembunyikan rahasia besar.
Nanti saja ia mencari alasan yang pas. Masih ada kelas biologi. Mrs. Lin bukan guru yang baik yang dapat memberikan toleransi cuma-cuma terhadap siswa yang telat walau sedetik saja. Buru-buru Alisia menaikkan kupluk hoodie-nya, menyembunyikan keindahan surai peraknya yang kerap dijadikan sasaran jambakan.
***
"
Alisia, mengapa terburu-buru, hem?" Laki-laki yang kebetulan sekelas dengan Alisia-populer karena prestasinya dalam basket-mencegat gadis berambut perak itu dan memojokkannya di pintu lokernya.
"Aku harus pulang, Oliver," jawab Alisia bergetar di ujung lidah, ketakutan setengah mati. Tahu, kelanjutan momen berikutnya pasti bakalan berakhir buruk. Selagi sempat kabur, ia secepatnya harus melakukannya.
"Hei, apa aku terlihat seperti monster menyeramkan? Sungguh keterlaluan, laki-laki tampan sepertiku kau anggap menakutkan." Oliver Bannet semakin berani mendekatkan wajah hingga tak berjarak.
Gadis itu nyaris menangis, tetapi ia tak ingin pengganggu terbesarnya menang begitu saja. Dia akan mati-matian mempertahankan harga dirinya sebisa mungkin.
"Apa maumu?" tanya Alisia dalam posisi membuang muka ke samping. Tidak sudi bertatap muka dengan si cabul.
"Datanglah ke pesta Sarah denganku, maka kau tidak perlu menjadi babunya semalaman!"
Ah, pesta! Luka yang ia dapatkan hari ini berhubungan dengan pesta Sarah. Sarah sendiri yang menampar dan menyudutkannya di toilet, mengancam akan memberikan hari-hari jauh lebih menyiksa dari biasanya, jika Alisia menolak menjadi babu di pesta Sarah nanti malam.
Terpaksa Alisia mengangguk. Meski penderitaannya hanya sebatas tamparan di pipi, Alisia tidak bersyukur sama sekali. Justru menjadi babu adalah neraka baginya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Elf 🔚
Fantasy"Kita adalah mate. Kau mungkin akan membunuhku, tapi aku tak akan sanggup menyakitimu."