Bab 8: Rencana

506 94 20
                                    

Keesokan harinya, Kastil Noir tidak biasanya sepi. Tidak banyak prajurit yang berjaga di setiap kelokan koridor dan jika berlalu lalang, mereka tampak terburu-buru. Ada keanehan yang coba Alisia cerna? Namun, ia sama sekali tidak mendapatkan satu pun pencerahan.

“Apa yang terjadi, Mere.”

“Hamba pun tidak tahu menahu, Putri. Yang hamba tahu, para prajurit berjaga di depan gerbang kastil. Ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Kalau pun akan terjadi penyerangan, seharusnya bukan di kastil ini. Melainkan kastil milik Pangeran yang satunya. Kastil Opelix. Kastil yang dijadikan basis militer Pangeran selama ini. Musuh seharusnya menyerang kastil itu, bukan kastil ini.”

“Siapa yang akan menyerang kastil ini?” Alisia terdengar seolah ia mengkhawatirkan hal yang akan terjadi.

Mere menggeleng. “Hamba sudah bertanya kepada seorang prajurit, mereka hanya menjalankan titah dari Pangeran, tanpa diberi tahu kepada siapa mereka harus hadapi.”

“Lantas Pangeran di mana?”

“Maaf sekali lagi Putri, hamba tidak tahu.”

Alisia menggigit bibir. Setelah melewati malam yang indah, paginya ia dibiarkan sendirian. Zac meninggalkannya tanpa pesan apa pun. Lantas kini kastil menghadapi mara bahaya luput dari pria itu di sini. Apa yang harus ia lakukan?

“Putri Alisia!”

Aldous—yang Alisia ketahui sebagai kaki tangan Zac—menghampirinya dengan langkah panjang dan terburu-buru. Aneh melihatnya berkeliaran di sini sendirian, tanpa sosok Zac yang selalu didampinginya.

“Apa yang terjadi, Aldous? Ke mana Zac?” tanya Alisia begitu Aldous berdiri di depannya.

“Pangeran berada di Istana Opelix sedang mempersiapkan perang besok.”

“A—apa?” Alisia mendelik terkejut.

“Dengar, Putri. Pangeran menginginkan Putri bertahan di sini. Sampai kedatangan bangsa Elf merebut kembali Putri.”

“Apa?” Seakan hanya perbendaharaan kata itu yang dimiliki otaknya saja.

“Bahkan seluruh prajurit yang dimiliki Pangeran, tidak akan mampu mencegah hal itu terjadi. Bukan karena kalah jumlah, atau pun kalah dalam persenjataan. Justru kekuatan militer kami jauh di atasnya. Tapi karena Pangeran tahu, mempertahankan Putri tetap di sini adalah kesia-siaan.”

Alisia sama sekali tidak mengerti apa yang barusan Aldous coba terangkan padanya.

“Putri, Pangeran memberi Putri kesempatan memilih sekali lagi. Jika para Elf itu berhasil menerobos penjagaan kastil ini, mereka akan membawa Putri kembali ke Kastil Dhrit. Tempat di mana Putri berasal. Keputusan absolut berada di tangan Putri. Memilih tetap di sini, atau ikut mereka.”

Jemarinya tanpa sadar meremas gaun hijau lumutnya kuat. Seharusnya ini mudah untuknya memilih opsi yang kedua. Pergi dari sini demi menggapai kebebasan yang ia idamkan. Bertemu keluarga dan hidup bahagia sebagai Elf yang digariskan alam kepadanya. Namun, justru keraguan menghambatnya bersikap tegas untuk ambil keputusan.

“Jika Putri memilih pergi, maka kami tidak akan menghalanginya.”

“Beri aku satu alasan mengapa aku harus memilih. Jika aku penyebab kematiannya, harusnya dia lebih dulu membunuhku. Tapi kenapa dia malah memberiku kesempatan memilih?” Di usianya yang ketujuh belas, ia merasa baru kali ini menganggap bahwa kemelut ini lebih pelik dari perundungan yang pernah ada. Dia dipaksa memutuskan dua hal besar itu dan setiap opsi akan memberi dampak yang entah Alisia coba bayangkan baik buruk untuk nasib segala lini kehidupannya ke depan.

Elf 🔚Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang