Epilog

592 97 24
                                    

“Sean!” peringat Alisia kepada anaknya yang berusia lima tahun. “Apa yang sudah kau lakukan pada Raja Dominic?!”

“Aku tidak melakukan apa pun.” Mata imut itu membulat, berpendar ke sana kemari menghindari tatapan ibunya.

“Lantas kenapa Raja Dominic tiduran di lantai dan bernapas ngos-ngosan?”

“Kami main petak umpet,” jawab Sean Alexi Forester tanpa sekali pun melihat ibunya.

“Minta maaf!”

“Tidak perlu, Alisia. Kami hanya bermain.” Dominic menengahi dan bangkit dari tiduran di lantai.

“Dia sudah membuat Kakak kelelahan. Sean harus dihukum.”
Dominic tertawa. “Makin ke sini kau menjelma menjadi Zac versi wanita.”

“Aku hanya bersikap tegas pada Sean. Dia Pangeran, tentu harus bersikap seperti pangeran.”

“Ayolah, jangan kaku.”

Namun, Alisia tak ingin mendengar apa pun."

“Aku tidak mau dihukum!” protes Sean. Pipinya menggembung lucu.

“Sudah terlambat, Sean. Sekarang tidur siang.”

“Tidak mau!” Tidur siang bagi Sean jauh lebih menakutkan ketimbang dimarahi ibunya.

Alisia langsung menggendong Sean ketika anak menggemaskan itu lengah. Sean memberontak, tapi Alisia mampu menandingi kekuatan bocah itu yang tak seberapa. Menutup telinga setiap argumen anaknya terlontar sepanjang mereka berjalan menuju kamar. Sampai di balkon peraduan miliknya, Alisia merebahkan paksa tubuh Sean di sofa empuk, berbantalkan pahanya.

Angin sejuk mulai melambai-lambai kedua rambut berbeda warna tersebut.

“Ibu akan menceritakan kisah ayahmu jika kau mau tidur.”

Setiap mendengar nama ayahnya, ketertarikan Sean meningkat. Lewat kisah-kisah yang sering didongengkan ibunya tentang ayahnya, Sean semakin mengidolakan ayahnya. Ayahnya adalah pria terkeren dan terhebat di dunia. Dia semakin yakin, besar nanti akan menjadi apa. Tentu saja menjadi sekeren ayahnya.

“Jika ayah sekejam itu, mengapa Ibu masih mencintainya.”

“Ibu tidak tahu.”

“Kok, bisa?” Mata Sean yang hijau, yang diwariskan Alisia, meredup. Meski ia paksa terjaga, kantuknya mengalahkannya. Seirama dengan usapan lembut Alisia pada rambut hitam anaknya.

“Ayahmu sangat kejam sehingga ibu tidak bisa menolaknya.”

Sean tertawa lirih, “Ayah hebat.” Serupa gumaman tidak jelas dan akhirnya Sean tak terdengar lagi suaranya.

“Kali ini cerita apa lagi yang kau ceritakan pada anak kita, hem?”

Alisia mendongak, lantas terkekeh saat sosok bersayap putih itu, tahu-tahu duduk di terali balkon. Keindahannya tak pernah lekang, semakin indah dan indah saja. Ia merindukannya.

“Hanya kisah kecil.”

Sosok itu melompati terali dan dengan gerakan cepat meraup wajah Alisia dan memberi kelembutan di bibirnya yang ranum dengan segenap jiwa.

“Kuharap bukan tentang pembantaian masal.”

“Sayangnya, iya.” Alisia mengedip, bermaksud menggoda.

“Apa perlu aku menghukummu?”

“Dengan seluruh cintamu? ya.” Alisia tersenyum makin menggoda dan sosok bersayap putih itu semakin tertantang.

“Tentu saja, Alisia Alexi Forester.”

“Bagaimana dengan wilayah West, bukankah ada pemberontakan di sana?”

“West bisa menunggu sebentar.”

Alisia terkekeh. “Kau pengawas yang buruk.”

Sosok itu tertawa ala kadarnya. Merapatkan kening berdua dan menggumam, “Aku mencintaimu, Alisia.”

“Aku jauh lebih mencintaimu, Zac. Selamanya."








Elf 🔚Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang