Bad Fate, Wrong Decision

11K 1.9K 147
                                    

"Yak. Mari kita latihan untuk ujian sekolah besok, olahraga hari ini adalah... Senam lantai!"

Kata-kata guru olahraga kami, Pak Windu, serta merta ditanggapi dengan keluhan teman-teman sekelas. Senam lantai tuh malesin banget, lebih malesin ketimbang lari dan olahraga tim macam basket dan voli. Resiko cedera, keplitek lah, kepuntir, kadang ketendang kaki sendiri, besar banget buat kelas kami yang isinya cowok-cowok basket gak fleksibel dan cewek-cewek malas bergerak. Dan membosankan bangettttt kan. Senam lantai tuh ngantre sambil deg-deg'an mana diliat semua orang pula. Argh. Malasnya.

"Jangan protes dulu. Kita sekarang mau latihan... Tiger sprong." Pak Windu menambahkan, "Yak. Sekarang Diaz, Fadith, Fajar, ikut saya ambil matras dan balok ke gudang peralatan! Lainnya, pemanasan, coba dipimpin sama Kania dan Anis, lari keliling lapangan bola."

Aaaaaargh.
Hidup kenapa gak bisa lebih nyebelin lagi.

"Lo lagi kenapa, Nda?" Saat berlari sok-sok jogging, Fanny menghampiri dan bertanya.

"Kenapa apanya, Fan?"
"Alfa masa nanya ama gue, lo kenapa."

Aku melambatkan lariku untuk menoleh pada Fanny. Mukanya serius. Wah, beneran dia tanya.

"Gak papa gue."
"Lagi berantem? Tumben, biasanya kalian akur-akur aje temenan..."

Aku mengangkat bahu.
Tau sih kenapa. Tapi aku gak berani cerita.

Hari ini Selasa. Besok Rabu. Siang-siangnya aku akan pergi ke RS dan cek sama temannya Mas Gani. Habis itu, aku berencana untuk bilang sama Inyo. Masih gak tau mau ngomong apa, tapi paling gak saat itu pasti bisa bicara lebih tenang dibandingkan kemarin-kemarin.

"Lo pernah ngerasa Alfa ganteng gak sih?" Fanny bertanya lagi.
"Ganteng." Aku menjawab jujur.
"Eh jangan-jangan lo ngeceng dia juga?"
Aku mengangkat bahu lagi sambil berkonsentrasi memperhatikan langkahku.

"Dia kayaknya perhatian sama lo ya. Dia tuh padahal ga pernah balas SMS, tiba-tiba semalam nelpon. Kaget kan gue..."
Fanny terus bercerita, sementara kami lari berdampingan dan menyelesaikan keliling. Setelahnya, kami masih harus pemanasan lagi. Kali ini aku mesti serius. Soalnya, aku sering banget nyeri otot berasa kepuntir tiap senam lantai, bahkan beberapa kali ke UKS. Tapi tentu saja saat ini aku masih kepikiran Inyo.

Dia sampai mau nelpon Fanny untuk nanyain aku? Hmmm. Dia pasti udah curhat duluan ama Ijas. Apa aku cerita aja ya? Tapi aku belum yakin.

Satu per satu temanku melompati dua teman lain yang sudah lompat duluan, lanjut guling depan ke matras. Sesuai dugaan, kelas kami banyakan gagalnya. Aku nyaris jatuh terjerembab saat berguling ke depan, tapi untungnya masih sukses. Tapi saat salah satu teman sekelasku Gia dapat giliran, aku jadi 'rintangan' dan ia gagal lalu jatuh menimpaku. Lututnya menghantam pinggang belakangku sebelum terjerembab ke lantai di antara matras dan bangkit dengan hidung berdarah. Kepanikan membuatku segera bantu melarikannya ke UKS. Sementara Gia menyumpal hidungnya dengan tisu dan anak piket PMR mengecek, aku tiba-tiba merasakan nyeri tumpul di pinggang.

Saat mengangkat pakaian, memar besar tampak di sana. Ah. Well. Paling gak nilaiku gak zonk amat.

"Mau pake thrombopop gak, Kak?" Si adik kelas PMR bertanya, "Atau saya ambilin kompres es?"

"Aku ambil sendiri aja deh. Bisa minta ke kantim kan?"
Ia mengangguk, dan aku jalan ke kantin. Beli es ke tukang minuman dan duduk sambil mengompres pinggang kayak nenek-nenek. Aku nyaris memesan makanan, saat tiba-tiba sosok Inyo muncul dan duduk di sampingku.

Sial.
Aku menghindari dia sejak kemarin dan ditemukan semudah ini.

"Kenapa kamu?" Ia mau bicara tapi keburu melihatku menempelkan plastik es di sisi tubuh.

Tujuh Belas TahunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang