Sejak pertama aku lahir ke dunia, kupikir hidupku akan baik-baik saja. Tapi ternyata takdir Allah Yang Berkuasa. Sebab Allah Yang Maha Kuasa. Dari kecil Ayah dan Ibu berpisah. Awalnya aku tinggal dengan Ibu tapi kemudian Ayah menungguku di gerbang sekolah dan mengajakku untuk ikut bersamanya. Tentu aku senang, sebab setelah sekian tahun tidak tinggal bersama Ayah.
Di usiaku yang delapan tahun, Ayah mengajakku tinggal bersamanya. Bertemu keluarga Ayah. Mereka menyayangiku. Mengatakan kulitku putih dan aku cantik. Maklum aku tinggal di kota Metropolitan bersama Ibu dan Ayah tinggal di desa. Jadi orang-orang di rumah Ayah merasa kagum denganku ketika pertamakali aku sampai di sana. Tapi apa yang kutahu dengan otak kecilku. Itu bukan dunia yang sebenarnya. Ternyata jauh dari bayanganku.
Kata orang cinta pertama seorang anak perempuan adalah Ayahnya, tapi bolehkah aku mengatakan bahwa aku membenci Ayahku?
Jangan tanya kenapa. Sepertinya sebagian orang yang orangtuanya berpisah paham dengan maksudku.
Beranjak remaja aku semakin paham bahwa dunia yang Ayahku berikan adalah dunia yang gelap gulita. Tak ada setitik cahaya di sana. Begitu banyak hal-hal yang membuatku sesak. Rasanya ingin keluar berkali-kali tapi berkali-kali juga tak kutemukan pintu keluar.
Aku seperti seorang puteri. Orang-orang sering mengatakan itu. Tapi tidakkah mereka tahu? Dunia tempatku tinggal rasanya seperti sebuah tempat yang penuh dengan orang-orang yang mencacimu, mengataimu, memukulimu sampai di titik rasanya ingin mati. Berkali-kali teriak untuk meminta pertolongan tapi tidak ada satu pun yang mengulurkan tangannya. Dan sebenarnya ini hanyalah perumpaan. Di tempat itu hanya ada Ayahku.
Di dunia itu, aku berlari sekencang mungkin yang kubisa. Beberapakali kutemukan jalan buntu. Jadi aku berbalik lagi. Kemudian aku berlari lagi. Kutemukan lagi jalan buntu. Berbalik lagi dan berlari lagi sekuat yang kubisa. sampai pada akhirnya aku berdiri di sebuah titik di mana kulihat di ujung sebuah jalan ada ibuku, berdiri menatapku.
Dia membukakanku pintu, mempersilakanku masuk, tapi tidak menyambutku dengan hangat.
Pada akhirnya kutuliskan kata-kata yang membentuk kalimat.
"Sebenarnya adakah yang menginginkanku?"