Hi!
Namaku Noya Felicia, aku hidup di keluarga yang tidak kaya raya. Aku hidup sebagai anak dari petani di desa Harvest, kami bekerja di lahan pemerintahan disini. Ya kami hidup sangat sederhana dan serba kecukupan, bahkan listrik disini saja masih terbatas.
Aku masih berumur 19 tahun hampir 20 tahun, tidak memiliki kekasih, hanya memiliki adik laki-laki yang tukang merengek dan manja, serta Ayah dan Ibu yang penuh kasih.
Cita-citaku adalah bekerja dan merantau ke kota, Ayah Ibu bahkan tetangga pun bilang pada ku bahwa hal itu tidak mungkin dilakukan oleh warga desa seperti kami.
Mereka bilang kehidupan di kota sangatlah keras dari segi pergaulan, pekerjaan, dan lainnya. Namun, hal itu tidak mengubah keputusanku untuk tetap bekerja disana dan selalu mengidam-idamkan mengenakan pakaian rapi dan berada di ruangan dingin ber-AC.
Juga, gaji yang sangat memadai! aku ingin segera kesana agar Ayah dan Ibuku tidak perlu menjadi petani lagi dan aku ingin mereka menikmati hidupnya.*****
"Noya? nanti kalau ulang tahun Noya mau dimasakin apa? ada gulai kambing, pecel lele, ayam goreng?" Tanya Ibu sambil memikirkan menu apa lagi yang bisa ia tawarkan.
"Aduh, aku capek makan kambing! sakit kepala nih." Ucapku dengan manja.
"Ya ampun, kasian anak mama masih muda udah kolesterol." Balas mama dengan senyum isengnya.
"Ihh mama!" Aku memalingkan wajah dan memasang ekspresi cemberut.
"Yah mama, kan Noya mau ulang tahun masa dijahilin sih?" Ucap Ayah yang tiba-tiba datang dan ikut mengusili ku.
"Ah! ga mau tau pokoknya ga mau gulai kambing lagi." balas ku.
"Iya-iya, nanti dimasakin yang enak ya sama mama." Ibu mengelus kepala ku.
"Eh ma, bagaimana kado ulang tahun aku yang ke 20 ini aku pergi merantau ke kota?" Ucap ku.
Seketika suasana berubah menjadi hening dan Ibu hanya memandang ku terpaku dengan wajah terkejutnya.
"Nak-"
"Okeh kalau itu mau kamu." Ucap Ayah memotong pembicaraan Ibu.
"Ayah akan kasih kamu kesempatan ke kota, merantau kesana dan banggakan Ayah dan Ibu." Lanjut Ayah.
"Tapi pah-"
"Kamu anak perempuan satu-satunya yang Papa punya, putri Papa yang paling cantik nan ayu yang Papa punya, ingat jaga diri dan Papa akan dukung kamu." Lagi-lagi Ayah memotong ucapan Ibu.
Ibuku memandang ku dengan wajah yang memelas dan hampir menjatuhkan air mata.
"Papa mama beneran kasih aku merantau nih?" Ucapku memastikan.
"Mama menurut apa kata Papa nak." Akhirnya Ibu pasrah dan menyerahkan keputusan pada Ayah.
Ayah meninggalkan kami di ruang tamu dan ia beranjak ke kamarnya. Aku masih termenung melihat ekspresi sedih Ibu yang tidak bisa ditahan.
"Kakak pergi?" Adik ku yang bernama Nico meletakkan dagu mungilnya dipangkuan ku.
"Kakak mau cari uang dek, doain kakak ya? supaya Nico bisa beli sepeda baru, baju baru, terus makan yang enak-enak, tinggal di rumah bagus, yah?" Ucap ku meyakinkan adik kecilku.
"Nih." Tiba-tiba saja Ayah datang ke hadapanku dan memberikan ku sebuah amplop putih berisikan uang.
"Ini tabungan yang Papa punya, Papa udah sisihkan sebagian buat kamu, pakai ini dengan baik. Papa sayang kamu Noya." Lanjut Ayah.
Aku menangis terharu dan Ayah Ibuku memelukku sangat-sangat erat. Tidak kusangka aku dilahirkan di keluarga yang penuh kasih dan aku sangat menyayangi mereka dan adik kecilku.
"Pa, Ma, makasih banyak ya." Ucapku dengan hidung ku yang tersumbat karena menangis.
"Ingat pulang ya nak, kirim-kirim surat kalau bisa, Mama akan khawatir kalau kamu tidak kabarin mama." Ucap Ibu sambil memegang kedua pipi ku.*****
"Selamat ulang tahun yang ke-20 ya nak, semoga kamu jadi anak yang berfikir dewasa, diberikan rezeki yang halal, bertindak baik, sehat dan panjang umur."
"Selamat ulang tahun anak Mama yang nakal, jangan pecicilan ya kalau tidak ada Mama, jangan pakai baju yang terbuka, tetap sopan sebagai wanita, jangan pernah mau minum minuman keras apalagi obat-obatan ya nak. Mama sayang sama kamu."
"Kakak! selamat ulang tahun, ayo makan nanti lele nya aku yang makan loh."
Air mataku berjatuhan, tadinya aku baik-baik saja selagi disana dan merayakan ulang tahun ku. Keinginanku memang sudah bulat untuk merantau, namun hatiku masih tidak sanggup meninggalkan mereka.
Aku akan melanjutkan perjalananku sendiri dari sini.
Aku melambaikan tangan hingga setengah tubuhku keluar dari kaca kereta, melambaikan kepada Ayah Ibu dan Nico, aku ingin menjumpai mereka dengan kesuksesan ku di kota.
Ibu sudah menangis, Ayah sudah menangis, hanya Nico si anak bandel yang masih meributkan minta dibelikan permen di stasiun.
Aku kembali duduk karena kereta sebentar lagi akan berangkat. Melihat mereka yang semakin lama semakin jauh hingga tidak terlihat lagi, kereta ini akan membawa ku ke kehidupan yang luar biasa di kota.
Aku menatap kosong lantai kereta, seakan-akan aku tidak percaya bahwa mereka akan mengizinkan ku sejauh ini untuk pergi merantau, dan mereka benar-benar mengabulkan keinginanku untuk merantau.
Kereta ini sudah memasuki kawasan perkotaan dan berhenti di stasiun lainnya.
Tiba-tiba seorang laki-laki tua duduk di sebelah kanan ku juga laki-laki remaja duduk di sebelah kiri ku. Kereta ini segera penuh.
Terlihat ibu-ibu hamil berdiri di tengah-tengah sambil memegang pegangan kereta, tidak ada seorang pun yang peduli. Aku inisiatif untuk berdiri dan memanggil ibu hamil tersebut, namun tidak memakan waktu 1 menit, seorang wanita pelajar langsung menduduki kursi yang baru saja aku siapkan untuk ibu hamil tersebut.
"Dek? maaf sebelumnya, ini buat ibu hamil ini ya?" Ucapku.
"Peduli apa?" Balasnya dengan wajah yang tidak bersahabat.
"Dek? ini ibu hamil loh, lagi pula kursi ini kursi saya yang memang sengaja untuk dia." Ucap ku dengan nada yang mulai kesal.
"Hey, ini punya publik, tidak ada yang punya mu disini. Lagi pula sistem 'siapa cepat dia dapat' itu berlaku disini." Balasnya lagi dengan ketus.
"Sudah tidak apa-apa kak, mohon maaf ya sudah merepotkan sampai kakaknya tidak dapat kursi lagi." Ucap ibu hamil tersebut.
Aku hanya mengangguk dan Ibu hamil tersebut hanya menepuk bahu ku pelan dan kembali berdiri di tempat nya semula.
"Hey, ingat kalau kamu hamil suatu saat kamu akan diperlakukan seperti kamu memperlakukan ibu hamil tadi!" Ucapku kepada mahasiswi itu dengan nada kesal dan pergi ke tempat yang agak jauh darinya.
Aku pun harus berdiri dan menggunakan pegangan kereta, tidak kusangka akan semenjengkelkan ini. Baru saja masuk ke daerah kota, belum turun kereta. Huft
YOU ARE READING
TRAIN TO HARVEST
HorrorSeorang remaja muda dari desa yang merantau ke kota untuk mendapatkan kehidupan lebih layak dibanding bekerja sebagai petani di desa bersama keluarganya. Hingga ia bertemu dengan Dr. Felix yang merupakan dokter sekaligus spesialis penelitian virus d...