Warn! 6112 words!
Pagi buta dan sekitaran lapangan latihan sudah sibuk akan prajurit yang berlalu-lalang. Yuzra di sana, menunggu kedatangan anak buahnya yang ia ketahui bernama Joan itu untuk muncul dan ikut bersamanya menuju Ibukota Versein untuk kedua kali. Tapi bahkan batang hidung tinggi manusia yang ia tunggu itu tidak nampak walau matahari sudah jelas bertengger di atas langit.
Bahkan prajurit yang biasa mengambil bagian jaga bersama anak itupun tak tahu akan dimana keberadaan Joan. Seolah, presensinya menghilang di telan kabut wilayah utara. Ingin sekali Yuzra menghampiri ke kediamannya tapi sekali lagi karena ia kehabisan waktu untuk bersiap, akhirnya Yuzra pasrah untuk berangkat seorang diri menuju rapat, sementara prajurit yang telah ia siapkan berangkat di waktu yang berbeda.
"Ada masalah, Kapten?" tanya pria berkacamata dengan buku bersampul biru tua dengan corak kuning itu, merasa bahwa sang Kepala Penjaga nampak tidak fokus dan beberapa kali menghela nafas.
"Kita hanya berdua di sini, jangan bersikap formal, Endraz"
Ya, Endraz. Kakak dari Yandraz itu ikut karena ia adalah salah satu Profesor di Akademi Sihir Actia di Kota Deuseil yang terletak di perbatasan antara Kota Sharram dan Foraline, tempat yang sangat strategis mengingat Akademi ini dekat hutan dan laut Loan.
Hebat. Endraz memang sosok terpelajar, berbeda dengan Yandraz yang lebih tertarik pada kemampuan berpedang dan perang. Yuzra dan Endraz adalah teman dekat, selain karena mereka pernah mengajar bersama di Akademi sebelum akhirnya Yuzra berhenti karena syarat dari pertunangannya yang tak memperbolehkan ia untuk mengajar di Akademi.
Yuzra mulai memikirkan untuk kembali mengajar di Akademi mengingat pertunangannya telah di batalkan sepihak oleh pihak Kerajaan.
"Kau nampak sangat murung sejak kemarin" ujar Endraz lalu membuka kembali bukunya, senyum tersemat di bibir.
Yuzra mendengus, "Aku memang tidak bisa menyembunyikan apapun darimu rupanya"
Endraz hanya tersenyum tipis, lalu menggelengkan kepalanya pelan.
一 1 week later...
Setelah malam itu, Liam memutuskan untuk membiarkan Zagan dirawat oleh Sam dan Sean di kediaman mereka.
Sementara pria bermata emerald itu sibuk bereksperimen dengan jamur Ruthe mencoba menciptakan ramuan baru yang sekiranya bisa membuat Zagan bertahan.
Satu minggu berlalu dengan cepat. tidak ada perkembangan signifikan, tapi setidaknya tubuh Zagan sudah tidak sepucat saat pertama kali ia tak sadarkan diri.
Kini kulitnya lebih hidup dan nafasnya lebih teratur walau sekujur tubuhnya masih dingin, tak seperti seseorang yang sakit. Zagan seperti tertidur.
Tidur yang panjang.
"Sudah hari ke berapa ini?" gumam Liam bertanya, tubuhnya terlihat lesu tak lupa kantung mata menggantung hitam di bawah matanya. Matanya menatap lekat sebuah botol kecil berisi cairan berwarna biru. Hasil yang sudah ia usahakan selama 1 bulan ini, merelakan jam tidur dan seringkali melupakan makan rutin nya.
Termasuk mengabaikan brokoli nya yang mungkin sudah busuk sekarang di keranjang bersama tomat dan beberapa buah beri nya.
Liam telah berusaha keras.
Sam menghampiri sosok Liam yang duduk di atas sofa dengan bahu lemas. Di tangannya tersaji dua cangkir teh beserta poci panas yang barusaja ia buat.
"Ada perkembangan?"
"Ada. Tapi, tidak terlalu berpengaruh kupikir"
Sam ikut menghela nafas sebelum menyesap teh nya, mengabaikan tatapan Sean yang kini bersandar diam di dekat pintu kamar dimana tubuh Zagan terbaring lelap dalam tidurnya yang tak kunjung selesai.
KAMU SEDANG MEMBACA
ETERNAL [ON HOLD]
Fantasy[Romance-Fantasy] [Slow-plot] [BXB] Dewa senang sekali bermain-main dengan takdir keduanya. Memutar-mutar skenario dan membuat salah satunya putus asa. Penuh liku dan luka. "Aku akan melakukan apapun, kumohon. Kembalikan dia dalam pelukku" ©2021