3. Ciuman Penuh Kesadaran

2.8K 284 51
                                    

“Lembaran putih di hidupku menjadi berwarna ketika kamu mengatakan kata-kata cinta.”

"Pagi, Cantik!"

Aku tersentak kaget saat melihat Jay duduk di kursi ruang tamu dengan satu kaki terangkat ke atas paha. Kulihat sekeliling, Papa baru saja menyeduh kopi dari dapur. Aku mengucek mata beberapa kali, barangkali aku masih berada di alam mimpi.

"Ning... sejak kapan kamu punya teman cowok selain Surya? Kenapa Jay nggak pernah kamu kenalin ke Papa?" tanya Papa bertubi-tubi sembari duduk di samping Jay. Di antara kursi yang mereka duduki, ada cookies bikinanku. Dari anak tangga tampak jelas remahan cookies bertebaran di paha Jay. Otomatis dia juga memakannya.

"Ning itu penggemar berat saya, Om. Dia selalu ontime ngasih saya hadiah dan lihat semua pertandingan renang saya," balas Jay dengan ramah. "Tapi kami dekat karena Ning udah nyelamatin saya, Om."

"Selamatin apa?" Papa bingung.

Jay langsung memperlihatkan pergelangan tangannya yang masih diperban. "Saya pernah bunuh diri, Om, dan anak Om yang nemuin saya lalu lapor ke Papa saya."

Aku menuruni anak tangga, buru-buru menghampiri Jay. Setiba di dekatnya, aku menarik lengan seragamnya. Aku ingin bicara empat mata sama dia. Aku yakin jika aku tidak menyeretnya menjauh dari Papa, akan ada banyak kebohongan yang menggambarkan seolah aku sangat terobsesi padanya(meski kenyataan seperti itu).

"Kamu ngapain di sini? Ayo keluar!"

"Ning, papa nggak suka kamu kasar begitu, ya!" peringat Papa. Matanya lalu beralih pada mangkok di atas meja. "Itu sereal kamu udah papa bikinin. Makan dulu, baru pergi."

Aku menggeram. "Papa tuh nggak tau kejadian sebenernya. Jay itu—"

Jay bangkit, dia menarik tanganku agar duduk di kursi makan. "Ayo, makan dulu. Gue nggak mau lihat lo sakit."

Aku bisa apa selain menurut? Dua pria ini sama-sama berada di pihak yang sama, sedangkan aku kontradiktif.

Selama sepuluh menit aku menghabiskan sereal. Di dalam waktu singkat itu Jay dan Papa banyak sekali ngobrol terutama membahas tentang pertandingan bola. Sesekali aku melihat mereka berdua, entah kenapa sepertinya mereka sepemikiran dan cepat sekali terkoneksi. Ada tali tak kasat mata yang tersambung di kepala mereka berdua. Dan, itu membuatku cukup lega karena tidak perlu mengisi kecanggungan dengan hal-hal trivial.

"Selesai!" seruku setelah minum air putih. Aku berdiri, menyalimi tangan Papa. Seakan tahu situasi, Jay berdiri lalu juga mencium tangan Papa.

"Om, makasih saya udah diperkenankan masuk ke rumah Om ini! Makasih juga udah bolehin saya nganter Ning ke sekolah."

Papa tersenyum. "Semakin sering kamu ke sini, semakin senang saya, Jay. Kamu anaknya asik, tapi saya harap jangan pernah kepikiran buat bunuh diri lagi, ya?"

"Hehe, iya, Om. Saya juga nggak bisa janji. Soalnya papa saya yang mau saya mati, Om."

Aku tercenung. Bagaimana bisa hawa gelap seketika muncul? Ucapan Jay barusan dark sekali, menjelaskan bahwa dia tidak baik-baik saja selama ini.

"Pa, aku berangkat dulu! Selamat pagi, semangat kerjanya! I love you!" tuturku pada Papa sebelum menarik Jay ke luar rumah.

Matahari Sebelum Pagi Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang