Aku melanjutkan langkah, mengintip ke luar jendela. Sudah lewat beberapa pekan sejak perbincangan kami waktu itu … Badai salju yang masih terus jatuh, membuat satu per satu pemberontakan dari Rakyat mulai terlihat. Aku hanya terdiam, terkurung menatapi Para Bangsawan Kerajaan Juste yang berdiri di halaman Istana dari jendela … Menantikan kehadiran Raja mereka yang masih bersembunyi di balik takhtanya.
“My Lord!”
Mataku menoleh pada suara yang memanggil. Nyamuk yang terbang penuh kebisingan di hadapanku itu, perlahan mulai mengubah wujudnya menjadi seorang laki-laki dengan tinggi melebihi tinggi badanku. “Apa kalian menemukan sesuatu?” tanyaku kepadanya yang masih tertunduk.
Aku mengangkat tanganku, menerima gulungan kertas yang dikeluarkan Leshy di hadapanku dari dalam pakaiannya. “Lux yang memerintahku memberikan kertas tersebut kepadamu, My Lord. Itu merupakan salah satu surat yang dikirim oleh Kekaisaran untuk Raja. Di dalamnya, bertuliskan perintah untuk menghancurkan Sora,” ucapnya disaat kedua tanganku membuka gulungan kertas pemberiannya.
Aku masih belum mengeluarkan suara, hanya mataku saja yang dengan seksama membaca satu per satu huruf yang tertulis. “Sora sudah lama mengabaikan tradisi pemenggalan kepala untuk perempuan yang tak dipilih oleh calon suaminya. Jadi anak-anak itu diculik … Agar tradisi itu kembali muncul di Sora. Apa selain Raja, Para Pangeran juga mengetahui hal ini?” gumamku sambil berjalan mundur untuk menyandarkan punggung ke dinding.
“Kabar hancurnya tempat di mana anak-anak diculik sudah sampai ke Istana. Itulah alasan mereka mengurungmu, My Lord. Mereka sedang mencari bukti bahwa ini semua perbuatanmu … Dan semuanya, dilakukan oleh Pangeran yang bernama Alma.”
Aku menghela napas setelah mendengarkan ucapannya, “padahal aku sudah berusaha untuk berbuat baik kepadanya. Ini sudah cukup, kalian tidak perlu melakukan apa pun lagi. Aku sudah muak berada di sini … Sudah saatnya, aku memberikan kedamaian untuk mereka,” ungkapku sambil berjalan kembali mendekati jendela.
Kuletakkan telapak tanganku ke kaca jendela, “Kou, Kei, bekukan semuanya! Saat aku terbangun esok hari, semuanya harus sudah berakhir!”
Aku kembali menoleh pada Ebe, Sabra, Bernice dan juga Osamu yang memandangku dari balik jubah tebal yang mereka kenakan, “malam ini, tidurlah di ranjang bersamaku! Jangan pergi dari ranjang apa pun yang terjadi, ini perintah!” ungkapku dengan senyum yang kulemparkan pada mereka.
___________.
Suara panggilan berulang-ulang membuat mataku terkesiap. Panggilan itu juga yang membuat rasa kantukku seketika menghilang. Aku beranjak duduk dengan jari-jemari yang bergerak perlahan mengusap mata. Mataku beberapa kali mengedip, berusaha untuk mengusir pandangan mengabur yang masih menyelimuti.
“Ada apa, Ebe?” tanyaku, kepadanya yang duduk diam sambil memegang ujung rambutnya.
“Aku … Aku tadi, aku tadi hanya ingin menarik rambutku yang tergerai ke bawah ranjang. Rambutku membeku, Sachi … Ka-Kamar ini juga-”
Ebe menghentikan kata-katanya dikala mataku hanya menatapnya tanpa mengucapkan sepatah kata pun. “Aku tahu kalau sihir yang datang semalam benar-benar kuat … Saking kuatnya, aku bahkan tidak berani membuka mata. Aku benar-benar tidak menyangka, kalau kau akan melakukan hal ini, Sachi,” sahutnya yang kembali melanjutkan ucapannya.
Aku duduk sambil merapikan rambut, “Ebe, bangunkan mereka! Kita akan pergi dari sini … Kerajaan Juste, telah menghilang hari ini,” ucapku yang kembali menatapnya setelah mengencangkan ikatan pita pada rambutku.
____________.
Mereka berempat yang berdiri di depan pintu, melemparkan pandangan dengan serempak padaku. “Buka pintunya!” perintahku membalas tatapan mereka.
Osamu yang berdiri paling dekat dengan pintu … Mengangkat pedang miliknya, lalu memukulkan pedang tadi ke permukaan es yang menyelimuti pintu tersebut. Cukup lama Osamu mengikis lapisan es tadi dengan pedangnya, sebelum dia berhenti setelah bunyi sesuatu yang roboh … Mencuat, memenuhi ruangan.
Aku berjalan mendekati dinding yang roboh itu. Kedua kakiku berhenti untuk menunggu cakar besar milik Kou yang muncul dari dalam lubang di dinding, meraihku. Aku dibawa keluar oleh cakar yang membelenggu badanku, “terima kasih, Kou,” ucapku disaat dia menurunkanku kembali ke atas permukaan salju.
Tubuhku berbelok, melangkah meninggalkannya yang hendak membantu mereka yang masih berada di dalam kamar. Kedua kakiku itu terus berjalan, mendekati barisan kereta kuda yang diselubungi es di luar Istana. “Mereka semua mati,” bisik Lux di telingaku, tatkala aku membawanya berjalan mendekati sebuah patung laki-laki berselimut es tebal.
Patung tersebut memiliki mata dan mulut yang terbuka lebar. Tangan kanan dari patung tersebut juga terangkat ke depan, seperti seseorang yang hendak melarikan diri. Kulemparkan pandanganku ke arah patung laki-laki yang lain … Patung itu, terlihat seperti seorang laki-laki yang berdiri membungkuk sambil memegang pintu kereta di hadapannya.
Aku berjalan lalu mengusap pelan, pipi dari patung es laki-laki tadi, “kau seharusnya pergi sejak awal … Lucio,” ucapku setengah berbisik, memandang kosong pada patung di hadapanku itu.
Lux yang duduk di pundakku, mengepakkan sayapnya melewati celah pada pintu kereta yang belum sempat tertutup rapat. “Kemungkinan mereka ingin pergi menyelamatkan diri, tapi sepertinya terlambat. Vartan, duduk membeku di dalam kereta,” ungkap Lux disaat dia sudah kembali terbang keluar.
“Sachi, apa tidak apa-apa untukmu? Kau … Bukannya kau paling tidak suka membunuh mereka yang tidak bersalah?”
Aku menarik tanganku dari tubuh Lucio yang telah menjadi patung es. “Keberadaan mereka di sini, telah menjadi kesalahan. Membiarkan mereka hidup, itu berarti saksi mata untuk kejadian ini akan ada. Aku tidak sudi memberikan Kaisar informasi dari mereka secara percuma.”
“Lagi pula, Lux,” sambungku terhenti dengan kembali melirik padanya, “perintah tetaplah perintah!” tuturku sambil berbalik, setelah bunyi gemerancang terdengar dari arah belakang.
Kedua kakiku berjalan mendekati Osamu yang masih melangkahkan kakinya dengan perlahan ke arahku. Aku berhenti tepat di hadapannya lalu merogoh ke dalam tas yang aku bawa, “aku memiliki titipan untuk kakakku, Izumi. Apa kau bisa memberikan ini kepadanya karena aku harus segera melanjutkan perjalanan?” tanyaku kepadanya sambil menjulurkan sebuah gulungan kertas yang aku peroleh dari Bibi.
“Katakan kepadanya, aku telah menyelesaikan perintah Ayah, dan sampaikan juga kepadanya … Maafkan aku, untuk tidak bisa kembali saat ini. Aku, benar-benar menyesal,” lanjutku dengan meraih tangan Osamu lalu meletakkan gulungan kertas tadi ke sana.
Aku menarik napas dalam, dengan setelahnya berjalan melewatinya tanpa mengucapkan apa pun lagi. “Bernice, Sabra, naiklah ke punggung Kou! Kita akan pergi ke tempat selanjutnya!” perintahku, sambil menghentikan langkah di depan Ebe.
“Kakakku dan pasukannya, mungkin akan sampai ke sini dalam beberapa hari. Kau bisa pulang dengannya, Ebe!”
Ebe menggelengkan kepalanya, “dia mungkin akan membenciku karena selain aku meninggalkan Putranya … Aku juga meninggalkan adiknya. Aku akan ikut membantumu! Lagi pun, berpetualang bersamamu sangat menyenangkan, aku pun tidak sabar dengan apa yang akan kita hadapi selanjutnya,” sahutnya dengan senyum yang ia berikan padaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Queen : Memento Mori
FantasyKelanjutan dari novel 'Fake Princess' di MT/NT. Diharapkan, untuk membaca novel 'Fake Princess' terlebih dahulu, agar dapat mengerti dengan alur ceritanya. Genre : Dystopia, High Fantasy, Romance, Action, Mystery, Slice of Life, Adventure, Psycholog...