вσηυѕ

131 84 27
                                    

Sabtu, 27 April 2019

Pagi ini, pemuda tampan itu kembali menginjakkan kakinya di sini. Ia menatap gundukan tanah di hadapannya dengan sendu. Setelah itu, pandangannya beralih ke arah batu nisan yang bertuliskan nama kekasihnya. Dan itu membuat dadanya menjadi terasa sesak.

Namun tak lama, pemuda itu tersenyum kala mencium aroma harum yang keluar dari makam gadisnya.

“Hai, Sayang! Gimana keadaanmu di sana?” tanyanya dengan lirih.

“Padahal baru beberapa hari yang lalu kamu pergi, tapi kenapa aku udah dilanda rasa rindu ya, Clau?”

Mark tersenyum tipis sambil sesekali memukul dadanya yang terasa begitu sesak. Walaupun sebenarnya ia tak kuasa menahan kesedihan ini seorang diri, namun ia akan tetap bertahan dan menjaga benteng pertahanannya hingga akhir. Mungkin.

“Seandainya kamu masih ada dan masih bisa jawab semua pertanyaan aku, aku mau nanyain hal ini ke kamu...”

Dengan perlahan, tangan besar pemuda itu mulai mengelus lembut batu nisan yang ada di hadapannya. “Kenapa kamu pendem semua penderitaan ini sendiri, Clau? Kenapa nggak dari awal aja kamu kasih tau semuanya sama aku? Kenapa, Clau? Padahal kalo kamu mau bilang tentang penyakit itu dari awal, mungkin semuanya nggak bakal jadi kayak gini, Clau...”

“Kenapa kamu nggak mau berbagi sama aku? Kenapa kamu nggak bilang langsung ke aku tentang penyakit itu? Kenapa harus Tante Rahel yang ceritain semua itu ke aku? Kenapa, Clau?”

“Alasannya pasti karena kamu takut ngerepotin aku kan? Kenapa sih kamu selalu berpikir kalo kamu itu ngerepotin aku? Padahal itu sama sekali nggak bener, Clau! Kamu tuh nggak pernah ngerepotin aku! Nggak pernah!”

Tak lama setelahnya, Mark tampak tertawa hambar. “Karena kamu nggak akan pernah jawab semua pertanyaan aku ini, jadi kita lupain aja ya.”

“Clau, kamu inget nggak pas aku bilang kalo kamu itu salah satu sumber kebahagiaanku?” tanya Mark dengan sendu.

“Dan kamu tau kan maksud dari itu semua?”

Mark mengangguk kecil. Ia menjawab pertanyaannya sendiri. Miris. “Iya, itu artinya kamu berharga buat aku! Kamu berharga, Clau!”

“Tapi kenapa kamu malah pergi secepet ini?”

Mark memejamkan matanya secara perlahan. Ia benar-benar sudah tidak bisa lagi untuk menahan benteng pertahanannya agar tetap berdiri kokoh hingga akhir. Alhasil, kini pipinya menjadi basah akibat ulah air matanya sendiri.

“Kamu kenapa tega banget sih, Clau? Kenapa kamu bisa setega ini buat tinggalin aku sendiri di sini?”

Air mata pemuda itu mengalir semakin deras kala kenangannya bersama dengan gadis itu kembali berputar di otaknya—ingatan tentang bagaimana mereka tertawa dan menghabiskan waktu bersama. Dan sialnya, semua kenangan manis itu justru semakin membuat hati Mark terasa perih.

Mark kembali membuka matanya. Ia menatap gundukan tanah itu dengan mata yang basah dan sembab. Tak lama, pemuda malang itu berusaha untuk menampilkan senyuman terbaiknya.

Meskipun sekarang sudah tidak ada lagi sosok gadis itu di dalam kehidupannya. Dan mungkin nanti ia akan rindu terhadap senyuman serta tawa merdunya, namun kasih sayang Mark terhadap gadis itu, tak akan pernah hilang maupun berkurang.

Gadisnya akan selalu berada di dalam ruang hatinya, menjadi ratu di dalam sana. Selalu dan untuk selamanya.

“Sebelum aku pulang, aku mau ngucapin sesuatu buat kamu,” ujar Mark seraya meletakkan setangkai bunga mawar di atas makam gadisnya.

“Makasih ya, Clau. Makasih karena kamu udah mau jadi gadisku. Makasih juga karena selama ini kamu udah mau terima semua kekuranganku.”

“Aku bener-bener beruntung banget karena pernah jadi bagian spesial dalam hidupmu,” sambung Mark seraya tersenyum lembut.

“Selain itu, aku juga mau minta maaf sama kamu. Maaf kalo mungkin selama ini aku belum bisa jadi yang terbaik buat kamu. Tapi satu yang harus kamu tau, aku akan selalu sayang sama kamu, sekarang dan untuk selamanya.”

“Tenang di sana ya, Sayang, Om sama Tante biar aku yang jagain,” ucapnya setelah mengecup lama batu nisan Claudia, gadisnya.

“Aku pulang dulu, Clau. Aku janji, aku bakal sering-sering ke sini buat ketemu sama kamu.”

Setelahnya, Mark bangkit berdiri lalu dengan perlahan pemuda itu mulai meninggalkan tempat peristirahatan gadisnya.

Mark berjalan dengan tak bersemangat. Matanya yang sembab serta penampilannya yang cukup acak-acakan, membuat orang-orang yang berada di sekelilingnya menatapnya dengan iba.

Seiring dengan langkah kakinya yang panjang, Mark terus berusaha untuk ikhlas, walaupun hal itu tetap terasa sulit baginya. Ia belajar untuk menerima kenyataan ini, walau nyatanya itu sama sekali tidak semudah bayangannya.

Meskipun belum terbiasa dengan kehidupan barunya ini, namun pemuda itu tetap berusaha untuk merelakan kepergiannya. Membiarkan gadisnya pergi membawa cinta mereka ke tempat yang indah dan abadi.

~♥~

ᴵⁿᵍⁱⁿ ˢᵉᵏᵃˡⁱ ʳᵃˢᵃⁿʸᵃ ᵃᵏᵘ ᵇᵉʳᵗᵃⁿʸᵃ ᵖᵃᵈᵃ ˢᵉᵐᵉˢᵗᵃ,ᵐᵉⁿᵍᵃᵖᵃ ˢᵉᵐᵉˢᵗᵃ ᵗᵉᵍᵃ ˢᵉᵏᵃˡⁱ ᵐᵉⁿᵍᵃᵐᵇⁱˡ ᵈⁱʳⁱⁿʸᵃ?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

ᴵⁿᵍⁱⁿ ˢᵉᵏᵃˡⁱ ʳᵃˢᵃⁿʸᵃ ᵃᵏᵘ ᵇᵉʳᵗᵃⁿʸᵃ ᵖᵃᵈᵃ ˢᵉᵐᵉˢᵗᵃ,
ᵐᵉⁿᵍᵃᵖᵃ ˢᵉᵐᵉˢᵗᵃ ᵗᵉᵍᵃ ˢᵉᵏᵃˡⁱ ᵐᵉⁿᵍᵃᵐᵇⁱˡ ᵈⁱʳⁱⁿʸᵃ?

ᵂᵃˡᵃᵘᵖᵘⁿ ˢᵉᵏᵃʳᵃⁿᵍ ᵃᵏᵘ ᵇᵉˡᵘᵐ ᵗᵉʳᵇⁱᵃˢᵃ,
ᵈᵃⁿ ᵏⁱⁿⁱ ʸᵃⁿᵍ ᵗᵉʳˢⁱˢᵃ ʰᵃⁿʸᵃˡᵃʰ ᵃⁿᵍᵃⁿ⁻ᵃⁿᵍᵃⁿ ᵏⁱᵗᵃ ˢᵃʲᵃ,
ⁿᵃᵐᵘⁿ ᵃᵏᵘ ᵃᵏᵃⁿ ᵗᵉᵗᵃᵖ ᵇᵉˡᵃʲᵃʳ ᵘⁿᵗᵘᵏ ᵐᵉⁿᵍⁱᵏʰˡᵃˢᵏᵃⁿⁿʸᵃ.

ᴷᵃʳᵉⁿᵃ ˢᵉˡᵃᵐᵃⁿʸᵃ,
ⁱⁿⁱ ᵃᵈᵃˡᵃʰ ᶜᵉʳⁱᵗᵃ ᵗᵉⁿᵗᵃⁿᵍ ᵏⁱᵗᵃ,
ʸᵃⁿᵍ ʰᵃʳᵘˢ ᵇᵉʳᵃᵏʰⁱʳ ᵈⁱ ᵗᵃⁿᵍᵃⁿ ˢᵉᵐᵉˢᵗᵃ.

ᵀᵉʳᵗᵃⁿᵈᵃ,
ᴹᵃʳᵏ ᴸᵉᵉ

~♥~

makasih buat kalian semua yang udah mau bertahan sampai akhir!

hmmm coba dong kalian tulis pesan dan kesan dari cerita ini! ini sifatnya harus, kudu, wajib ya!

sampai ketemu di ceritaku yang selanjutnya!

Too Fast ᵐᵃʳᵏˡᵉᵉTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang